Rabu, 02 September 2009

Makna Jin Dibelenggu di Bulan Ramadhan

Assalamualaikum pak ustad,

Saya mohon penjelasan tentang makna surat arro'd:11 yang artinya:

11. Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah[767]. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[768] yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.

Apakah memang benar setiap kita diikuti oleh malaikat2 (selain malaikat pencatat amal). Bagaimana pula dengan hadits yang kalau tidak salah ada yang menerangkan bahwa setiap manusia ada yang mengikuti dari golongan jin, dan kaitannya dengan puasa ramadan,bahwa jin dan syetan dibelenggu?

Terima kasih,

Wassalamu 'alaikum

B.A

.

Waalaikumussalam Wr Wb

Malaikat Penjaga Manusia

Firman Allah swt :

لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِّن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللّهِ إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلاَ مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِ مِن وَالٍ



Artinya : ”Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar ro’du : 11)

Firman Allah lainnya :

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ ﴿١٦﴾
إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ ﴿١٧﴾
مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ ﴿١٨﴾



Artinya : ”Dan Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat Pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qoff : 16 – 18)

Imam Bukhori dan Muslim meriwayatkan hadits dari Abu Hurairoh bahwa Rasulullah saw bersabda,”Didalam diri kalian terdapat malaikat malam dan malaikat siang yang saling bergantian. Mereka bertemu disaat shalat shubuh dan shalat isya lalu malaikat yang bermalam didalam dirimu naik keatas. Mereka pun ditanya Allah swt dan DiaYang Maha Mengetahui tentang mereka,”Bagaimana keadaan hamba-Ku saat kamu tinggalkan?” Mereka menjawab,”Kami tinggalkan mereka dalam keadaan shalat dan kami datangi mereka juga dalam keadaan shalat.”

Didalam menafsirkan ayat 11 suart ar Ro’du, Ibnu Katsir mengatakan bahwa dua malaikat berada di sebelah kanan dan kiri menuliskan amal-amal. Malaikat yang ada di sebelah kanan mencatat amal-amal kebaikan sementara yang berada di sebelah kiri mencatat amal-amal keburukan. Dua malaikat lainnya menjaganya dan melindunginya. Satu malaikat berada di belakangnya sedang satu lagi berada di depannya sehingga jumlah mereka ada empat malaikat di siang hari. Dan empat malaikat lainnya pada malam hari menggantikan malaikat-malaikat yang di siang hari yang terdiri dari dua malaikat penjaga dan dua malaikat pencatat, sebagaimana hadits Abu Hurairoh diatas. (Tafsir al Qur’an al Azhim juz

Tentunya penjagaan malaikat terhadap manusia dari berbagai keburukan, kecelakaan, musibah adalah atas perintah dan izin Allah swt dan berjalan sesuai dengan ketetapan-Nya atas diri orang itu. Malaikat penjaga ini tidaklah bisa mencegah segala musibah, keburukan yang telah ditetapkan Allah kepada orang itu sebagaimana disebutkan di bagian akhir ayat itu,”... Apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar Ro’du : 11)

Jin Yang Menyertai Diri Manusia

Didalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi saw bersabda,”Tidaklah seorang dari kalian kecuali ada yang menyertainya dari kalangan jin dan dari kalangan malaikat.” mereka bertanya,”Anda juga?” beliau saw menjawab,”Saya juga akan tetapi Allah swt telah menyelamatkanku dan menjadikannya masuk islam sehingga dia tidak memerintahkanku kecuali kebaikan.”

Al Qodhi mengatakan,”Dan ketahuilah bahwa umat telah bersepakat akan perlindungan Nabi saw dari setan pada jasad, pemikiran dan lisannya.” Didalam hadits ini terdapat isyarat agar waspada terhadap fitnah setan yang menyertainya dari bisikan-bisiskan dan peneyesatannya, dan kita menjadi tahu bahwa setan iu bersama kita agar kita berhati-hati darinya dengan sekuat seluruh kemampuan kita.” (Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi juz XVII hal 230 – 231)

Syeikh ’Athiyah Saqar mengatakan bahwa setiap manusia disertai oleh jin dan malaikat. Malaikat yang menyertainya adalah yang memelihara manusia sebagaimana firman Allah swt surat Ar Ro’du ayat 11 diatas dan malaikat yang menolongnya untuk kebaikan atau yang lainnya. Sedangkan jin yang menyertainya itu berusaha menyesatkannya. Sungguh Iblis telah bersumpah dengan kebesaran Allah bahwa dia akan menyesatkan manusia seluruhnya kecuali hamba-hamba Allah yang ikhlas. (Fatawa al Azhar juz VIII hal 63)

Setan Dibelenggu Di Bulan Ramadhan

Diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda,”Apabila datang Ramadhan maka pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu.” didalam riwayat Ibnu Khuzaimah didalam shahihnya disebutkan sabdanya saw,”Apabila malam pertama dari bulan Ramadhan maka setan-setan dibelenggu yaitu jin-jin yang durhaka..”

Jin-jin yang durhaka adalah yang secara total berbuat kejahatan. .. dikatakan bahwa hikmah dari diikat dan dibelenggunya setan adalah agar tidak membisik-bisikan kejahatan kepada orang-orang yang berpuasa. Dan tanda-tandanya adalah banyaknya orang-orang yang tenggelam didalam kemaksiatan kembali bertaubat kepada Allah swt.

Adapun apa yang terjadi sebaliknya pada sebagian mereka maka sesungguhnya itu adalah pengaruh-pengaruh dari bujuk rayu setan yang telah tenggelam didalam jiwa-jiwa orang-orang pelaku kejahatan serta menghujam didalamnya...

Al Hafizh didalam ”al Fath” mengatakan bahwa Iyadh mengatakan,”Kemungkinana bahwa lahiriyah dan hakekatnya adalah itu semua tanda bagi malaikat untuk memasuki bulan (Ramadhan) dan mengagungkan kehormatan bulan itu serta mencegah setan-setan untuk menyakiti orang-orang beriman. Dan bisa juga berarti suatu isyarat akan banyaknya pahala dan ampunan dan bahwa setan dipersempit upayanya untuk menyesatkan mereka sehinga mereka bagaikan terbelenggu.”

Dia berkata,”Kemungkinan kedua itu diperkuat dengan sabdanya saw yang diriwayatkan oleh Muslim ’pintu-pintu rahmat dibuka’ dia mengatakan bahwa lafazh ’pintu-pintu surga dibuka’ adalah ungkapan tentang apa yang dibuka Allah bagi hamba-hamba-Nya berupa ketaatan yang menjadi sebab masuknya ke surga. Sedangkan lafazh ’pintu-pintu neraka ditutup’ adalah ungkapan tentang dihindarinya dari berbagai keinginan kuat untuk melakukan maksiat yang dapat menjatuhkannya ke neraka. Sedangkan lafazh ’setan-setan dibelenggu’ adalah ungkapan akan lemahnya setan untuk melakukan penyesatan dan penghiasan terhadap syahwat.”...

Al Qurthubi mengatakan,”Apabila anda ditanya tentang bagaimana pendapatmu tentang berbagai keburukan dan kemaksiatan yang banyak terjadi di bulan Ramadhan dan seadainya setan itu dibelenggu tentunya hal itu tidaklah terjadi?” Maka jawabnya adalah ,”Sesungguhnya bahwa kemaksiatan itu akan mengecil terhadap orang-orang yang berpuasa yang memelihara syarat-syarat puasanya dan memperhatikan adab-adabnya” atau ”Dibelenggunya sebagian setan sebagaimana disebutkan didalam sebagian riwayat yaitu riwayat Tirmidzi dan Nasai bahwa mereka yang dibelenggu adalah para pemimpinnya bukan seluruh setan” atau ” maksudnya adalah ”Meminimalkan kejahatannya di dalam bulan itu”

Itu adalah perkara yang bisa diraba, maka sesungguhnya kejadian itu didalam bulan ramadhan lebih sedikit dari bulan lainnya. Jadi tidak mesti dengan dibelenggunya seluruh setan maka tidak akan terjadi satu kejahatan atau satu kemaksiatan karena disisi lain terdapat banyak sebab lainnya yang bukan dari setan seperti jiwa-jiwa yang kotor, kebiasan-kebiasaan buruk, setan manusia dan lainnya.” (Tuhfatul Ahwadzi juz II hal 219)

Wallahu A’lam

Urgensi Al-Qur’an dalam Kehidupan Muslim


(Refleksi Peringatan Nuzulul Qur’an)
Pada malam hari di bulan ramadhan yang mulia ini, kita tengah memperingati malam Nuzulul Quran. Di mana “mayoritas” ulama berpendapat bahwa saat diturunkannya wahyu pertama al-Quran yaitu terjadi pada bulan suci ramadhan. Hal ini juga diperkuat dengan firman Allah swt dalam surat al-Qadr (1-5).

Sekalipun mayoritas ulama berpendapat turunnya al-Qur’an terjadi pada bulan suci Ramadhan, namun hal ini tidak menyampingkan adanya perbedaan pendapat seputar tanggal atau waktu turunnya al-Qur’an tersebut. Ada di antara sahabat Nabi dan ulama yang meriwayatkan bahwa Nuzulul Qur’an terjadi pada tanggal 17 ramadhan, ada pula yang mengatakan 21, dan adapula yang berpendapat tanggal 23, 24 dan seterusnya. Kenapa terjadi perbedaan di antara para sahabat tentang persisnya tanggal Nuzulul Qur’an tersebut. Hal ini dapat dijawab, bahwa memang tidak ada keterangan resmi yang datang dari baginda rosulullah saw mengenai kapan tepatnya tanggal diturunkannya al-Qur’an tersebut. Sehingga semua perkataan dan pendapat yang sempat ditulis oleh ulama adalah murni hasil ijtihad dan pendapat para sahabat belaka. Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari menuliskan, bahwa terdapat kurang lebih 40 pendapat ulama seputar kapan Nuzulul Qur’an tersebut.

Dalam sebuah riwayat, pernah dinyatakan bahwa baginda ralulallah saw hendak menyampaikan berita gembira tentang kapan kah tepatnya malam Nuzulul Qur’an atau Lailatul Qadr tersebut. Namun ketika beliau hendak menyampaikan berita tadi, tiba-tiba terdapat dua orang sahabat yang tengah bertengkar sengit di dalam masjid Nabi, maka melihat kejadian tersebut maka rasulullah enggan menyampaikan kabar berita tersebut, atau tepatnya keinginan untuk menyampaikan itu tiba-tiba sirna ketika melihat kejadian tersebut.

Namun demikian, sesungguhnya dengan tidak jadinya rasulallah mengabarkan berita di atas, terdapat hikmah yang laur biasa bagi ummat seluruhnya; yaitu, agar kita senantiasa bersungguh-sungguh mencari kapan tepatnya malam tersebut tiba. Dengan tidak adanya kabar yang pasti tentang malam Nuzulul Qur’an ini, seharusnya membuat kita tidak bermalas-malas dalam mencari anugerah malam tersebut. Justru dikhawatirkan jika kita telah mengetahui pasti waktu malam Nuzulul Qur’an tersebut, malah kita hanya mengandalkan hari itu untuk beribadah kepada Allah, sementara pada waktu-waktu lainnya kita tinggalkan tanpa nilai ibadah sedikitpun. Tentu hal ini amat sangat bertolak belakang dengan semangat ramadhan yang merupakan bulan yang tidak hanya menuntut keimanan kita, namun juga keihlasan hati kita untuk beribadah selama satu bulan penuh, atau dalam bahasa agamanya biasa kita kenal dengan istilah “al-iman wa al-ihtisab.”

Lalu bagaimana sejarahnya, kenapa kita dan khususnya masyarakat muslim Indonesia memperingati Nuzulul Qur’an ini pada tanggal 17 ramadhan seperti saat sekarang.? Ternyata jika kita membaca sejarah bangsa kita, peringatan Nuzulul Qur’an yang jatuh pada tanggal 17 ramadhan ini tidak lepas dari gagasan H. Agus salim dan persetujuan Bung Karno (Presiden RI pertama). Seperti yang kita maklum bahwa bangsa kita mendeklarasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Maka sebagai rasa syukur yang tiada terhingga atas nikmat kemerdekaan ini pula, maka perayaan Nuzulul Qur’an disamakan tanggalnya yaitu sama-sama mengambil angka 17 bulan ramadhan. Seakan-akan para fouding fathers kita hendak mengatakan bahwa, mensyukuri nikmat kemerdekaan, tidak kalah dengan mensyukuri nikmat turunnya al-Qur’an sebagai petunjuk dan pedoman ummat Islam. Maka mulai saat itu -di zaman Bung Karno- sampai sekarang peringatan nuzulul Qur’an senantiasa diperingati di istana Negara pada tanggal 17 ramadhan dan kerap diikuti oleh sebagian besar ummat muslim di Indonesia. Untuk lebih detailnya silakan dilihat sebuah buku “Bung Karno dan Wacana Islam” (Kenangan 100 Tahun Bung Karno)

***

Sebetulnya jika kita telusuri keterangan yang berasal dari Hadits nabi Muhammad, bulan suci ramadhan ini tidak hanya dikhususkan bagi turunnya al-Qur’an saja. Namun juga bagi kitab-kitab ummat yang terdahulu, seperti, Injil, Taurat, Zabur dan Shuhuf Ibarahim, seluruhnya Allah turunkan di bulan suci ramadlan ini. Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad RA:

“ Shuhuf Ibrahim diturunkan pada awal bulan ramadhan, kemudian Taurat pada tujuh bulan ramadlan, lalu Injil pada 13 ramadlan, sedangkan al-Qur’an pada 25 ramadlan.”

Sekalipun seluruh kitab-kita samawi itu sama-sama diturunkan pada bulan suci ramadhan, namun terdapat beberapa kelebihan al-Qur’an di banding kitab-kitab yang lainnya. Paling tidak kelebihan tersebut dapat dilihat dalam beberapa hal:

1. Bahwa seluruh kitab-kitab samawi Allah turunkan secara sekaligus, sedangkan al-Qur’an Allah turunkan secara berangsur-angsur.
2. Seruan atau petunjuk yang terdapat dalam kitab-kitab samawi terbatas pada ummat saat kitab tersebut diturunkan, sedangkan al-Qur’an petunjuk dan seruannya tidak terbatas pada saat al-Qur’an itu diturunkan, namun mencakup seluruh manusia sampai dengan hari kiamat, bahkan termasuk juga bangsa Jin.
3. Seluruh kitab-kitab samawi tersebut mengalami pemalsuan, distorsi, bahkan hilang sama sekali dari muka dunia, sampai-sampai sekarang kita tidak dapat melihat wujud aslinya, sedangkan al-Qur’an terjaga dari segala bentuk pemalsuan dan penyelewengan seperti di atas.

Terdapat suatu riwayat menerangkan (baca: kitab Muwafaqat, Imam Syatibi, Kitab Maqasid. H. 42), kenapa kitab-kitab samawi mengalami penyelewengan atau pemalsuan sedangkan al-Qur’an terjaga dari semua hal itu. Maka dijawab oleh Qadhi Abu Ishaq Ismail bin Ishaq, bahwa berkenaan dengan kitab-kitab terdahulu kenapa sempat terjadi pemalsuan dan penyelewengan, hal itu karena Allah berfirman dalam al-Qur’an: “Sebagaimana Allah memerintahkan mereka untuk menjaga Kitab Allah (Al-Maidah: 44). Ayat ini mengandung pengertian bahwa, keutuhan dan keotentikan kitab suci mereka “murni” tergantung pada usaha mereka untuk menjaganya. Sedangkan pada al-Qur’an Allah tidak berkata demikian, akan tetapi “ Sesungguhnya Kami telah turunkan al-Qur’an dan Kami pula yang akan menjaganya” (al-Hijr: 9). Artinya, keutuhan dan keotentikan Al-Qur’an tidak semata-mata murni usaha manusia atau umat muslim saja, namun juga terdapat interfensi Allah Swt atasnya. Maka sangat wajar, jika sesuatu yang dilandaskan pada kekuatan yang berasal dari Allah sendiri, akan berbeda dengan kekuatan yang hanya berasal dari manusia saja.
4. Kelebihan “surat” al-Quran atas “surat-surat” kitab terdahulu. Para ulama tafsir berkata: "Al Quran lebih unggul dari kitab-kitab samawi lainnya sekalipun semuanya turun dari Allah, dengan beberapa hal, diantaranya: jumlah suratnya lebih banyak dari yang ada pada semua kitab-kitab yang lain. Telah disebutkan dalam sebuah hadis bahwa Nabi kita Muhammad saw. diberi kekhususan dengan surat Al-Faatihah dan penutup surat Al-Baqarah. Di dalam Musnad Ad Darimi disebutkan, dari Abdullah bin Mas’ud ra. ia berkata: "Sesungguhnya Assab’uthiwal (Tujuh surat panjang dalam Alquran; Al-Baqarah, Ali-Imran, An-Nisaa,, Al-A’raaf, Al-An’aam, Al-Maa-idah dan Yunus) sama seperti taurat, Al-Mi’in (Surat-surat yang berisi kira-kira seratus ayat lebih, seperti Hud, Yusuf, Mu’min dan lain sebagainya) sama seperti Zabur dan Al-Matsani (Surat-surat yang berisi kurang dari seratus ayat. Seperti, Al-Anfaal, Al-Hijr dan lain sebagainya) sama dengan kitab Injil. Dan sisanya merupakan tambahan".
Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan Thabrani, dari Wasilah bin Al-Asqa, bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Telah diturunkan kepadaku Assab’uthiwal sebagai ganti yang ada pada Taurat. Diturunkan kepadaku Al Mi’in sebagai ganti yang ada pada Zabur. Diturunkan kepadaku Al Matsani sebagai ganti yang ada pada Injil, dan aku diberi tambahan dengan Al Mufashshal (surat-surat pendek).
***

Sebagaimana tema kita yaitu, apa urgensi al-Qur’an dalam Kehidupan Muslim. Namun sebelumnya perlu saya sampaikan bahwa sekalipun isi al-Quran banyak menceritakan tentang kisah-kisah ummat terdahulu, akan tetapi al-Qur’an bukanlah kitab sejarah, atau sekalipun al-Qur’an sering menggambarkan alam kosmos beserta galaksinya, akan tetapi al-Quran tidak dapat kita sebut sebagai kitab astronomi. Atau sekalipun al-Quran sering mengupas tentang bentuk penciptaan manusia secara detail dan juga penciptaan alam raya ini, akan tetapi al-Quran bukanlah kitab pengetahuan Alam atau fisika. Melainkan yang tepat adalah al-Quran sebagai kitab hidayah atau petunjuk bagi seluruh alam. Jadi sekiranya terdapat cerita atau gambaran tentang hal-hal yang bertalian dengan geografi, sejarah, fisika, kedokteran dan lain-lain, hal tersebut hanyalah berfungsi sebagai bukti dan penjelasan untuk mencapai kepada satu tujuan hidayah yang Allah maksud tadi. Maka dari itu, terdapat beberapa syarat agar kita dapat menemukan hidayat yang dimaksud oleh Allah swt dalam kandungan yang terdapat dalam al-Qur’an.

Yang pertama: Kita harus terlebih dahulu membaca al-Quran tersebut secara seksama, hal ini sebagaimana pesan wahyu pertama dalam surat al-Alaq, yang berbunyi (Iqra’) atau bacalah.!

Yang kedua: Kita harus memahami isi dan kandungan yang terdapat dalam surat dan ayat yang kita baca tadi. Hal ini disebabkan membaca saja tidak cukup untuk mengetahui rahasia kandungan dan maksud yang Allah maksud dalam al-Qur’an tersebut.

Yang ketiga: Setelah kita memahami isi dan kandungan al-Qur’an barulah kita mengajarkan kepada orang lain, agar orang lain pun dapat membaca dan memahami al-Quran secara baik. Sebagaimana hadits nabi yang diriwatkan oleh Usman bin Affan ra. dari Nabi saw. ia bersabda; "Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Alquran dan mengajarkannya kepada orang lain".(Bukhari). Al hafiz Ibnu Katsir dalam kitabnya Fadhail Quran halaman 126-127 berkata: Maksud dari sabda Rasulullah saw. "Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Alquran dan mengajarkan kepada orang lain" adalah, bahwa ini sifat-sifat orang-orang mukmin yang mengikuti dan meneladani para rasul. Mereka telah menyempurnakan diri sendiri dan menyempurnakan orang lain. Hal itu merupakan gabungan antara manfaat yang terbatas untuk diri mereka dan yang menular kepada orang lain.

Yang keempat: Mengamalkan ajaran dan kandungan yang terdapat dalam al-Qur’an. Pada tahap pengamalan inilah yang sangat berat, sebab pengetahuan yang didapat akan tidak berguna jika tidak dibarengi dengan pengamalan dalam prilaku dan perangai kita setiap harinya.

***

Dari keempat syarat ini barulah al-Qur’an akan dapat dirasakan manfaatnya oleh kita semua, oleh sebab al-Quran merupakan kitab petunjuk/hidayah. Apalagi jika kita benturkan dengan kebutuhan hidup saat ini. Di mana setiap orang dengan segala kemajuan dan kecanggihan yang dicapai oleh manusia, justru malah mereka mencari suatu sistem nilai yang mereka anggap absolut. Kita sebagai ummat Islam tentu tidak perlu lagi meragukan apalagi mencari-cari sistem nilai lagi kecuali pada al-Qur’an itu sendiri. Perlu dicatat bahwa kemunduran ummat Islam bukan terletak pada inti ajaran al-Qur’an atau disebabkan ummat Islam setia pada ajaran al-Qur’annya, sehingga alam pikir dan daya kreatifitas mereka terhambat oleh al-Qur’an, akan tetapi justru dikarenakan faktor budaya dan ummat Islam malah sedikit demi sedikit telah menjauhkan dari al-Qur’an.

Satu contoh, sangat ironis memang, di saat ajaran al-Quran menganjurkan kepada ummatnya untuk membaca, namun kenyataannya Negara dan ummat yang terbesar buta hurufnya justru adalah ummat Islam. Dapat kita lihat pula, terkait dengan minat baca umat Islam Indonesia, dan orang Indonesia secara umum sangatlah lemah. Namun sebagai negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia, adalah ironis bahwa Muslim Indonesia belum mampu menerjemahkan wahyu pertama dalam kehidupan sehari-hari. Di belahan lain dunia Islam, kondisinya lebih baik. Di India dan Iran misalnya. Di kedua negara tersebut tradisi keilmuan yang memang telah lama mengakar terus lestari hingga kini. Dalam sejarahnya, bangsa Indonesia tidak memiliki satu peradaban dengan tradisi baca-tulis (baca: keilmuan) yang kuat. Dibutuhkan lebih dari sekedar kerja keras untuk menggapai hal itu. Nuzulul Quran bisa menjadi jawaban untuk semua itu. Dengan merujuk pada Al-Quran, adalah sahih untuk mengatakan bahwa menjadi seorang Muslim yang baik adalah menjadi pembaca yang baik. Semoga momentum Nuzulul Quran rasanya layak dijadikan pijakan awal transformasi budaya untuk lebih bersahabat dengan bacaan dan tulisan.

***

Sebagaimana yang telah kita singgung bahwa Surat al-‘Alaq ayat 1-5 adalah wahyu verbal pertama yang diterima Nabi saw. Dalam kisah pewahyuan ayat-ayat ini, Nabi dikisahkan ‘dipaksa’ oleh malaikat Jibril untuk membaca (iqra’/bacalah!). Tapi saat itu Nabi merespon dengan menjawab “Saya bukanlah seorang yang bisa membaca”. Ada sebuah analisis menarik dari Tariq Ramadan tentang peristiwa ini. Dia menulis bahwa karena Nabi adalah seorang ummi saat itu Nabi “mengungkapkan ketidakmampuan logis dan bila kemudian Nabi mampu membaca hal itu karena spiritualitas yang terkandung di dalam kalimat—‘dengan nama Tuhanmu’—membuka akses terhadap dimensi lain ilmu pengetahuan”.

Setidaknya ada beberapa hal yang menarik untuk dibicarakan. Pertama adalah bahwa Nabi saw., seorang ummi—tentang hal ini ada hikmah tersendiri dalam ayat lain—‘dipaksa’ untuk membaca. Hal ini memberikan impresi betapa Islam menekankan pentingnya membaca hingga dipilih seorang ummi, yang dipaksa untuk membaca, untuk menyampaikan pesan-pesannya. Kedua, keharusan untuk menyertakan spiritualitas dan keimanan dalam aktifitas pembacaan itu. Tentu hal itu tidak berarti meminggirkan peran nalar dalam proses pembacaan. Sebaliknya, rasionalitas (baca: ta’aqqul, tadabbur) adalah komponen utama dalam proses memahami dan menafsirkan ‘bacaan’, namun hal ini tidak boleh meminggirkan keimanan dan spiritualitas dalam prosesnya.

Selanjutnya, dalam analisis semantik bahasa Arab , pembuangan objek dari kata iqra’ memiliki implikasi bahwa objek yang dibaca adalah umum—disamping tentu saja Al-Quran sebagai kitab suci. Karenanya seorang yang beriman pada Al-Quran tidak perlu membatasi materi bacaan selama pembacaannya selalu menyertakan ismi Rabbik. Pada tataran epistemologis frase bismi Rabbik dapat dilihat sebagai rambu-rambu dalam ‘membaca’. Pembacaan tanpa menggunakan ismi Rabbik, katakanlah seperti filsafat sekuler—jika istilah ini disetujui, dapat melahirkan proses dan hasil yang berbeda dengan hasil pembacaan yang, sebutlah, Islami. Untuk sekedar menyebut contoh, bagi seorang rasionalis keraguan adalah metode epistemologis yang valid untuk mencapai kebenaran. Tapi hal ini ditolak oleh Al-Quran (10:36). Perintah membaca pada ayat pertama surat Al-‘Alaq dilanjutkan dengan isyarat terhadap pentingnya tulisan pada ayat keempat dan kelima. Tentang kaitan antara ayat 3-4 dan ayat sebelumnya, Al-Biqa’i menyatakan bahwa Allah mengajarkan pada Nabi saw. sekalipun saat itu beliau adalah seorang ummi sebagaimana Allah mengajarkan ilmu pada orang bodoh dengan pena. Disini terdapat penekanan terhadap pentingnya penulisan sebagai sarana transmisi ilmu yang dalam Islam mendapat tempat yang tinggi. Diantaranya adalah harus tersedianya sumber buku di Negara kita.

Dalam hal ini, berdasarkan data dari Intenational Publisher Association Kanada, produksi perbukuan paling tinggi ditunjukkan oleh Inggris, yaitu mencapai rata-rata 100 ribu judul buku per tahun. Tahun 2000 saja sebanyak 110.155 judul buku. Posisi kedua ditempati Jerman dengan jumlah judul buku yang diterbitkan pada tahun 2000 mencapai 80.779 judul, Jepang sebanyak 65.430 judul buku. Sementara itu, Amerika Serikat menempati urutan keempat. Indonesia pada tahun 1997 pernah menghasilkan lima ribuan judul buku. Tetapi, tahun 2002 tercatat hanya 2.700-an judul. Sangat jauh apabila dibandingkan dengan produksi penerbitan buku tingkat dunia.

Belum lagi jika kita hendak kaitkan dengan angka rasio doktoral di setiap Negara, Almarhum Nurcholish Madjid pernah menyanyangkan rendahnya kualitas SDM bangsa kita di banding bangsa-bangsa lainnya, terutama dari bangsa-bangsa Barat. Kita lihat saja, berdasarkan data internasional atas angka rasio doktoral di setiap Negara dihitung per-satu juta kepala, yaitu diantaranya: Mesir dari satu juta penduduk Mesir terdapat 400 doktor, India dari satu juta orang India terdapat 600 doktor, Amerika terdapat 6.500 doktor, Israel (Yahudi) terdapat 65.000. Sedangkan Indonesia, dari satu juta orang Indonesia hanya ada 75 doktor. Tentu untuk bisa bersaing dengan bangsa-bangsa yang lain kita harus lebih meningkatkan SDM kita khususnya dalam dunia pendidikan.

Semoga dengan momentum Nuzulul Qur’an ini, kita dapat tergugah untuk meningkatkan kadar membaca kita, tentunya bacaan yang tidak melupakan aspek spiritualitas yang terkandaung dalam kalamt “bismirabbika” tadi. Dengannya kita dapat lebih mendekatkan diri kepada hidayah Allah swt. Sebab apa gunanya ilmu pengetahuan yang kita miliki, jika ia hanya akan menjauhkan diri kita dari keridlaan Allah swt. Wallahu’alam.

Minggu, 30 Agustus 2009

Shalat Tahajud Setelah Witir Tarawih


assalaamualikum ww,

pak ustadz saya mau bertanya mengenai shalat tahajjud di bulan ramadhan, setelah kita melaksanakan shalat taraweh dan witir apakah kita masih dibolehkan untuk bertahajjud lagi tengah malamnya?

karna saya pernah membaca jika sudah melaksanan shalat witir maka tidak ada lagi shalat sunnah sesudahnya.

sebelumnya saya ucapkan banyak terimakasih.

wassalam,

irwan

.

Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Irwan yang dimuliakan Allah swt

Tahajjud juga disebut dengan qiyamullail, sebagaimana firman Allah swt :

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَّكَ عَسَى أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا


Artinya : ”Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji.” (QS. Al Israa ” 79)

Juga firman Allah swt :

يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ ﴿١﴾
قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا ﴿٢﴾
نِصْفَهُ أَوِ انقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا ﴿٣﴾

Artinya : ”Hai orang yang berselimut (Muhammad). Bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya) (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit.” (QS Al Muzammil : 1 -3)

Namun demikian ada juga yang mengatakan bahwa tahajjud dikerjakan pada pertengahan atau akhir malam dan dilakukan setelah orang itu bangun dari tidur. Sedangkan qiyamullail bisa dilakukan di awal, pertengahan atau akhir malam dan tidak mesti setelah bangun dari tidur.

Adapun shalat tarawih maka para ulama juga menyebutnya dengan qiyamullail di bulan ramadhan yang dilakukan setelah menunaikan shalat isya dengan memanjangkan berdirinya. Ia bisa juga disebut dengan tahajjud. Dinamakan tarawih dikarenakan terdapat istirahat setelah dua kali salam. Shalat tarawih ini merupakan sunnah muakkadah berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairoh bahwa Rasulullah saw bersabda,”Barangsiapa yang melakukan qiyamullail (tarawih) dengan penuh keimanan dan keikhlasan maka dihapuskan dosa-dosanya yang lalu.”

Tentang witir sendiri hukumnya adalah sama baik pada bulan ramadhan maupun diluar bulan ramadhan, yaitu tidak ada dua witir dalam satu malam sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam yang lima kecuali Ibnu Majah bahwa Rasulullah saw bersabda,”Tidak ada dua witir dalam satu malam.” juga hadits yang diriwayatkan oleh jama’ah kecuali Ibnu Majah bahwa Rasulullah saw bersabda,”Jadikanlah akhir shalat kalian pada malam hari adalah witir.”

Maka bagi siapa yang telah melakukan shalat tarawih dan witir bersama imam lalu dirinya ingin melakukan kembali shalat malamnya maka hendaklah dia melakukan shalat qiyamullailnya saja (genap) tanpa melakukan witir lagi berdasarkan hadits-hadits diatas, demikian menurut para ulama Hanafi, Maliki, Hambali dan pendapat yang masyhur dari para ulama Syafi’i. Dalil lainnya yang dipakai mereka adalah apa yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Ummu Salamah bahwa Nabi saw melakukan shalat dua rakaat setelah witir.” Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini juga diriwayatkan dari Abu Umamah, Aisyah dan sahabat lainnya dari Rasulullah saw.

Ada juga cara kedua yang merupakan pendapat para ulama Syafi’i—kitab ”al Mausu’ah al Fiqhiyah (2/9827)”—yaitu hendaklah orang itu mengawalinya dengan melakukan shalat sunnahnya satu rakaat untuk menggenapkan witir yang telah dilakukan sebelumnya kemudian melakukan shalatnya yang genap sekehendaknya kamudian ditutup dengan witir. Hal ini diriwayatkan dari Utsman, Ali, Usamah, Sa’ad, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas sebagaimana ditegaskan oleh Imam Nawawi dan Ibnu Qudamah. Dan dalil yang bisa jadi digunakan mereka adalah hadits,”Jadikanlah akhir shalat kalian pada malam hari adalah witir.”

Wallahu A’lam

Waktu Pelaksanaan I'tikaf

Assalamu'alaykum wr wb,

Yth Ustaz,

Saya insya Allah berencana melakukan iktikaf pada bulan ramadhan ini.

Mengenai waktunya, apakah pada siang hari atau malam hari? atau siang malam?

Apa saja syarat-syarat lainnya?

Terima kasih banyak.

wassalam,

Kalam Dzikra

Kalam Dzikra


.

Jawaban

Waalaikumusalam Wr Wb

Semoga Allah swt memudahkan rencana anda untuk dapat beri’tikaf pada akhir-akhir ramadhan nanti.

Terjadi perselisihan ulama tentang pengertian itikaf menurut syariah :

1. Para ulama Hanafi mengatakan bahwa itikaf adalah menetap di masjid yang didalamnya dilakukan shalat berjamaah dalam keadaan berpuasa serta niat untuk beritikaf sedangkan menetap adalah rukunnya. Adapun masjid jamaah yang dimaksud adalah masjid yang memiliki imam dan muadzin baik didalamnya dilakukan shalat lima waktu atau tidak.

2. Para ulama Maliki mengatakan bahwa itikaf adalah berdiam diri (menetap) yang dilakukan seorang muslim yang mumayyiz di sebuah masjid dalam keadaan berpuasa serta menahan diri dari jima’ dan pendahuluannya selama sehari semalam atau lebih untuk beribadah dengan menyertakan niat.

3. Para ulama Syafi’i mengatakan bahwa itikaf adalah berdiam diri di masjid yang dilakukan seorang tertentu dengan menyertakan niat.

4. Para ulama Hambali mengatakan bahwa itikaf adalah berdiam diri di masjid untuk taat kepada Allah dengan keadaan tertentu dari seorang muslim, berakal dan tamyiz dalam keadaan suci dari hal-hal yang mewajibkannya mandi. Waktu minimalnya adalah sesaat.

Dalil-dalil disyariatkannya itikaf adalah terdapat didalam Al Qur’an, sunnah maupun ijma’ para ulama :

1. Firman Allah swt :

وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

Artinya : ”Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid.” (QS. Al Baqoroh : 187)

2. Sedangkan sunnah adalah apa yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, Anas dan Aisyah bahwa Nabi saw beritikaf di sepuluh malam terakhir dari Ramadhan sejak beliau saw datang ke Madinah hingga Allah swt mewafatkannya saw.” (Muttafaq Alaihi). Imam Zuhri mengatakan,”Manusia memang aneh, mengapa mereka meninggalkan itikaf padahal Rasulullah saw melakukannya dan tidak pernah meninggalkannya. Beliau saw tidak pernah meninggalkanya hingga dirinya meninggal dunia.”

Adapun waktu yang disukai untuk itikaf ini adalah pada bulan Ramadhan atau bulan lainnya, sedangkan tentang waktu minimalnya maka terjadi perselisihan :

1. Para ulama Hanafi mengatakan bahwa itikaf minimal dilakukan sejenak tanpa ada batasan waktu. Berpuasa bukanlah persayaratan dalam itikaf sunnah.

2. Para ulama Maliki mengatakan bahwa waktunya adalah sehari semalam, sedangkan yang paling baik adalah sepuluh hari. Tidak sah itikaf bagi orang yang tidak berpuasa walaupun dirinya memiliki uzur. Barangsiapa yang tidak mampu berpuasa maka tidak sah itikafnya.

3. Pendapat yang paling benar dari para ulama Syafi’i adalah itikaf disayaratkan menetap sesuai kadar berdiam diri itu sendiri. Waktunya adalah lebih sedikit dari waktu lamanya thuma’ninah saat ruku’ atau sejenisnya.

4. Sedangkan para ulama Hambali mengatakan bahwa paling sedikit seorang mu’takif adalah sejenak walaupun sekelabatan saja.

Sedangkan persyratan dari itikaf ini adalah :

1. Islam ; tidaklah sah itikaf yang dilakukan oleh orang kafir karena hal itu merupakan bagian dari keimanan.

2. Berakal atau tamyiz ; tidaklah sah itikaf seorang yang gila atau sejenisnya, tidak juga seorang anak yang belum tamyiz karena mereka tidak termasuk ahli ibadah.

3. Dilakukan di masjid; tidaklah sah itikaf yang dilakukan di rumah-rumah kecuali para ulama Hanafi yang membolehkan seorang wanita beritikaf di masjid didalam rumahnya, ia adalah tempat yang dikhususkan untuk shalat.

4. Niat; tidaklah sah itikaf kecuali dengan niat, sebagaimana hadits Nabi saw,”Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung dari niatnya.”

5. Puasa; ini merupakan syarat mutlak menurut Maliki dan persyaratan menurut Hanafi didalam itikaf nazar saja bukan yang sunnah. Puasa ini juga bukan persayaratan menurut Syafi’i dan Hambali sehingga itikaf sah walau tanpa berpuasa kecuali jika orang itu bernazar puasa bersama itikaf..

6. Bersih dari junub, haidh dan nifas menjadi pesyaratan menurut jumhur. Para ulama Maliki berpendapat bahwa bersih dari junub merupakan syarat diperbolehkannya orang itu menetap di masjid bukan menjadi syarat sahnya itikaf. Apabila seorang yang beritikaf bermimpi maka diwajibkan baginya untuk mandi baik di masjid jika terdapat air atau keluar dari masjid.

7. Izin dari suami bagi seorang istri merupakan syarat menurut Hanafi, Syafi’i dan Hambali. Tidaklah sah itikaf seorang wanita tanpa izin dari suaminya walaupun itikafnya itu adalah itikaf nazar. Sedangkan Maliki berpendapat bahwa itikaf seorang wanita yang tanpa izin suaminya tetap sah namun berdosa. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu)

Wallahu A’lam.

Menggapai Shalat Khusyu'

Assalamualaikum wr.wb

Ustad sigit yg sya hormati,,,

saya ingin bertanya,bagaimana sholat seseorang bisa dibilang sudah khusu,,,

soalnya sampai sekarang sya belum merasa sholat sya itu sudah khusuyu,,,

terima kasih,

wasalamualaikum wr.wb

ichai


.

Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Ichai yang dimuliakan Allah swt

Al Qurthubi mengatakan bahwa khusyu adalah suasana didalam jiwa yang tertampakkan pada anggota tubuhnya berupa ketenangan dan ketundukan. Sedangkan Qatadah mengatakan bahwa khusyu didalam hati berupa rasa takut dan memejamkan mata ketika shalat.

Diantara nash-nash yang berbicara tentang tuntutan khusyu didalam shalat ini :

الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ

Artinya, ”(yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya.” (QS. Al Mukminun : 2)

وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ

Artinya : ”Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'.” (QS. Al Baqoroh : 45)

Diantaranya pula, hadits ’Uqbah bin ’Amir bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda,”Tidaklah seorang muslim berwudhu lalu membaguskan wudhunya kemudian berdiri melakukan shalat dua raka’at dengan ketundukan hati dan wajahnya kecuali wajib baginya surga.” (HR. Muslim)

Dari Utsman berkata,”Aku mendengar Rasulullah saw bersabda,”Tidaklah seorang muslim mendatangi shalat wajib lalu membaguskan wudhu, khsuyu dan ruku’nya kecuali ia menjadi pelebur dosa-dosanya yang lalu kecuali dosa besar. Dan itu berlaku sepanjang masa.” (HR. Muslim)

Sedangkan hukum khusyu itu sendiri adalah sunnah dari sunnah-sunnah shalat menurut jumhur ahli ilmu. Mereka menganggap sah orang yang didalam shalatnya memikirkan urusan-urusan duniawi selama dia tetap melakukan gerakan-gerakan shalatnya secara baik.

Oleh karena itu hendaklah setiap orang yang shalat memperhatikan perkara-perkara berikut agar khusyu didalam setiap shalatnya :

1. Tidak menghadirkan didalam hatinya kecuali segala sesuatu yang ada didalam shalat.

2. Menundukkan anggota tubuhnya dengan tidak memain-mainkan sesuatu dari anggota tubuhnya, seperti : jenggot atau sesuatu yang diluar anggota tubuhnya, seperti : meratakan selendang atau sorbannya. Hendaknya penampilan lahiriyahnya menampakkan keskhuyuan batiniyahnya.

3. Hendaklah merasakan bahwa dirinya tengah berdiri dihadapan Raja dari seluruh raja Yang Maha Mengetahui segala yang tersimpan dan tersembunyi.

4. Mentadabburi bacaan shalatnya karena hal itu dapat menyempurnakan kekhusyuan.

5. Mengosongkan hatinya dari segala kesibukan selain shalat karena hal itu dapat membantunya untuk khsusyu dan janganlah memperpanjang atau melebarkan pembicaaan didalam hatinya. (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 6643)

Wallahu A’lam

Alasan 17 Ramadhan sebagai Nuzulul Qur'an

Assalamu'alaikum ustazd....

Sejauh yg saya ketahui sejak dulu, bahwa Al Qur'an diturunkan pada Bulan Ramadhan yaitu pada malam Lailatul Qadar. Rasul SAW pernah bersabda bahwa malam lailatul Qadar itu adanya pada 10 malam terakhir Bulan Ramadhan yaitu malam-malam ganjil. Yang ingin saya tanyakan adalah dasar apakah selama ini umat islam memperingati malam Nuzulul Qur'an itu pada 17 Ramadhan ?

Atas jawaban ustazd saya ucapkan terima kasih...

Abie Syifa


.

Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Abie Syifa yang dimuliakan Allah swt

Tentang bagaimana Al Qur’an itu diturunkan dari Lauh Mahfuzh maka ada beberapa pendapat dikalangan para ulama :

1. Al Qur’an diturunkan sekaligus ke langit dunia pada malam Lailatul Qodr kemudian diturunkan dengan cara berangsur-angsur sepanjang kehidupan Nabi saw setelah beliau diutus di Mekah dan Madinah. Banyak para ulama yang mengatakan bahwa pendapat inilah yang paling benar berdasarkan suatu riwayat dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abbas yang telah dikeluarkan oleh Hakim dan Baihaqi serta yang lainnya, dia mengatakan bahwa Al Qur’an diturunkan pada suatu malam ke langit dunia yaitu Lailatul Qodr kemudian diturunkan setelah itu selama dua puluh tahun kemudian dia membaca :

وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا


Artinya : “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik .” (QS. Al Furqon : 33)

وَقُرْآناً فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنزِيلاً


Artinya : “Dan Al Quran itu telah kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al Isra : 106)

Hakim dan Ibnu Abi Syaibah mengeluarkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan,”... maka Al Qur’an diletakkan di Baitul Izzah dari langit dunia lalu Jibril turun dengan membawanya kepada Nabi saw.’

Terdapat beberapa riwayat lain dari Ibnu Abbas dengan sanad-sanad yang tidak bermasalah yang menguatkan makna itu.

2. Al Qur’an diturunkan ke langit dunia pada 20 malam Lailatul Qodr atau 23 atau 20 atau 25—sebagaimana adanya perbedaan pendapat tentang lamanya Rasulullah saw menetap di Mekah setelah diutus—di setiap malam lailatul qodr diturunkan sejumlah tertentu sesuai dengan ketetapan Allah swt setiap tahunnya lalu turun setelah itu secara berangsur-angsur di seluruh tahunnya, demikianlah pendapat Fakhrur Rozi dan dia sendiri tidak berpendapat tentang apakah pendapat ini atau pendapat pertama yang lebih utama.

3. Al Qur’an diturunkan pertama kali pada malam Lailatul Qodr kemudian diturunkan setelah itu dengan cara berangsru-angsur pada waktu yang berbeda-beda, demikianlah pendapat Sya’bi.

4. Al Qur’an diturunkan dari Lauh Mahfuz sekaligus dan malaikat-malaikat penjaga menurunkannya secara berangsur-angsur kepada jibril selama 20 malam lalu Jibril menurunkannya secara berangsur-angsur kepada Nabi saw selama 20 tahun. Ini adalah pendapat yang aneh. (Fatawa al Azhar juz VII hal 469)

Adapun yang menjadi dasar kaum muslimin didalam memperingati Nuzulul Qur’an pada tanggal 17 Ramadhan dimungkinkan karena pada tanggal itu diturunkannya ayat pertama dari surat al Alaq kepada Nabi Muhammad saw,

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ ﴿١﴾
خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ ﴿٢﴾
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ ﴿٣﴾
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ ﴿٤﴾
عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ ﴿٥﴾

Artinya : ”Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Maksudnya: Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca.” (QS. Al A’laq : 1 – 5)

Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir didalam kitabnya ”Al Bidayah wa an Nihayah” menukil dari al Waqidiy dari Abu Ja’far al Baqir yang mengatakan bahwa awal diturunkannya wahyu kepada Rasulullah saw adalah pada hari senin tanggal 17 Ramadhan akan tetapi ada juga yang mengatakan tanggal 24 Ramadhan.

Wallahu A’lam

Minggu, 23 Agustus 2009

Menghunjamkan Kalimat Tauhid Kita


Laa Ilaaha IllaaAllah…Tiada Tuhan selain Allah. Deklarasi paling sakral dan kudus yang membebaskan manusia dari cenkeraman bendawi, dari kungkungan diri, dari jeratan dan jebakan nafsu

Laa Ilaaha Illaa Allah…Tiada Tuhan selain Allah. Kalimat yang senantiasa meluncur deras dari mulut para Nabi dari Rasul, shiddiqin, muqarrabin, syuhada’ dan salihin. Kalimat yang menghiasi bibir mereka yang merindu Allah Azza wa Jalla..

Laa Ilaaha IllaaAllah…Tiada Tuhan selain Allah. Deklarasi paling sakral dan kudus yang membebaskan manusia dari cenkeraman bendawi, dari kungkungan diri, dari jeratan dan jebakan nafsu, dari kejahatan-kejahatan bisikan kotor syetan.

Laa Ilaaha Illaa Allah….Sebuah penafian segala yang diluar Allah dan penetapan bahwa hanya Allah yang pantas Wujud. Tiada yang pantas dipuja selain Allah. Tiada yang pantas disuyukuri selain Allah. Tiada yang pantas diminta pertolongan dan munajat selain Dia. Semua makhluk adalah fana, semua makhluk akan sirna, seluruh makhluk akan binasa.. Allah-lah yang kekal abadi…Allah-lah yang memiliki kebaqa’-an hakiki.

Allah-lah yang memberikan segala nikmat yang melimpah ruah pada manusia. Allah-lah yang mengucurkan hujan dari langit, yang membuat mata air mengalir, yang membuat api bisa membakar…Allah-lah yang memberikan rizki pada setiap makhluk dengan kasih-Nya dan cinta-Nya…Allah-lah yang menghidupkan makhluk-makhluk dan yang mematikan mereka. Seluruh kekuasaan dan segenap kemampuan berada di tangan-Nya. Allah Maha Perkara. Dia Tuhan yang mutlak kekuasaan-Nya, yang tidak terbatas kemampuan-Nya..Tuhan yang tidak beranak dan tidak diperanakka. Esa dan Tunggal.

Laa Ilaaha Illaa Allah….Tiada Tuhan selain Allah. Tuhan Yang Maha Pengasih Maha Penyayang. Yang mencurahkan nikmat-Nya pada makhluk-Nya walau tanpa diminta…yang melimpahkan nikmat-Nya sampai pada manusia paling jahat, durjana dan durhaka. Tiada Tuhan selain Allah… Tuhan manusia dan jin, Tuhan malaikat dan syetan…Tuhan makhluk melata dan yang terbang.

Laa Ilaaha Illaa Allah….Tiada Tuhan selain Allah. Kalimat yang merasuk demikian dalam pada jiwa para Nabi…dalam jantung para wali. Kalimat yang menggetarkan jiwa mereka…meluluhkan kesombongan mereka…menghancurkan keangkuhan mereka. Kalimat yang menuntun mereka untuk senantiasa mampu tahu dan sadar diri. Kalimat yang menggairahkan ruhani dan menyegarkan nafas kehambaan mereka, kalimat yang melejitkan enerji ketakwaan dan mengobarkan semangat juang mereka. Yang membuat mereka luruh tiada daya di depan keagungan-Nya.

Laa Ilaaha Illaa Allah...Kalimat yang menghiasi orang-orang bertakwa dalam semua gerak perilaku mereka yang terlahir dalam amal-amal saleh mereka..

Laa Ilaaha Illaa Allah….Tiada Tuhan selain Allah. Adalah panji yang dipancangkan para Nabi dan dikibarkan para Rasul dengan semangat pengabdian pada Allah Tuhan Penguasa Arasy yang agung. Ia adalah panji yang membedakan antara kekufuran dan keimanan antara kebenaran dan kebatilan antara benderang dan kegelapan. Antara hidayah dan kesesatan. Kalimat yang mendorong Nabi berjuang tiada henti menyampaikan pesan-pesan Ilahi. Menebarkan kasih, menyuburkan derma, menumbuhkan keadilan di pelosok bumi. Kalimat yang memberangus ketidakadilan, menghempaskan kelaliman, menenggelamkan angkara murka dari muka bumi. Kalimat yang membuat mulut Fir’aun menjadi tersumbat, mulut Namrudz menjadi tercekat. Mulut Haman tak mampu bernafas Kalimat yang membuat Asiah menjadi pemberani tanpa tanding dan kokoh bertahan walau berada di sarang Fir’aun, yang membuat Masyithah rela direndam dalam kuali panas bersama anak-anak terkasihnya yang masih ada dalam buaian. Kalimat yang menjadikan Bilal sang budak bersikap berani tiada tara berhadapan dengan para kafir Quraisy dengan menyebut Ahad…Ahad…Ahad. Kalimat yang membuat Sumayyah ibu Yassir tak gentar menghadapi kematian di depan mata. Kalimat yang melahirkan para pejuang dan mujahid, para salehen, shiddiqin dan muqarrabin.

Laa Ilaaha Illaa Allah...Kalimat yang mengangkat manusia dari perbudakan antara manusia menjadi seorang hamba Tuhan semesta. Dengan Laa Ilaaha Illaa Allah…. segala hal menjadi ringan…semua kesulitan tak terasakan. Ragam problema menjadi hiburan.

Dengan Laa Ilaaha Illaa Allah…. Tanah Persia dibebaskan, kekaisaran Romawi dimerdekakan dari kezhaliman-kezhaliman para penguasa kejam.

Dengan Laa Ilaaha Illaa Allah…. manusia sepenuhnya menjadi hamba Allah Tuhan semesta alam dan tidak akan rela dijadikan sebagai budak nafsu dan syetan.

Laa Ilaaha Illaa Allah…adalah pohon yang baik yang akarnya menghunjam ke bumi dengan cabang-cabang mencakar langit yang mempersembahkan buah ranumnya setiap saat dengan idzin Tuhannya.

ألم تر كيف ضرب الله مثلا كلمة طيبة كشجرة طيبة أصلها ثابت وفرعها في السماء. تؤتي أكلها كل حين بإذن ربها ويضرب الله الأمثال للناس لعلهم يتذكرون

Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat (Ibrahim : 24-25)

Laa Ilaaha Illa Allah…, jika kita melakukan dosa kemudian kita meminta ampunan pada-Nya maka Dia akan mengampuni kita. Jika kita bersyukur pada-Nya maka Dia akan menambahkan nikmat-Nya kepada kita. Jika kita meminta pada-Nya maka Dia akan memberi apa yang kita minta. Jika kita melakukan kesalahan, maka Dia akan menutupinya.

Jika kita kembali, inabah pada-Nya, maka Dia akan menerima kita dengan terbuka. Jika kita bertaubat, Dia sangat senang dengan taubat kita. Jika kita menyebut-Nya Dia akan menyebut kita di tengah para malaikat-Nya. Jika Allah memberi ujian pada kita itu artinya Dia sedang menyeleksi kita. Jika kita tertimpa bencana –dan kita sabar menerima—maka Dia akan membuat kita terhapus dari dosa-dosa.

Maka wajib bagi kita untuk mengikhlaskan amal untuk-Nya semata. Jujur dalam kesendirian kita, senantiasa berada di gerbang ubudiyah dan berlutut pada-Nya dengan penuh kerendahan jiwa. Hendaknya kita senantiasa memanggil-Nya di tengah malam dan di ujung siang. Berdzikir pada-Nya, mensyukuri nikmat-Nya dan mengakui segala kekurangan kita. Akui bahwa semua nikmat berasal dari-Nya dan jagalah aturan-aturan Allah. Tunaikan semua hak-Nya, berbakti penuh kepada-Nya. Hendaknya kita senantiasa siap berada di bawah kibaran panji-Nya, melepaskan diri dari semua hal yang membuat-Nya murka. Kita harus berlepas diri dari anggapan bahwa kekuatan dan upaya datang dari kita. Kita harus bangga menisbatkan semua ubudiyah kepada-Nya. Kita mencinta dan membenci hanya karena-Nya. Bertawakkallah kepada Allah. Serahkan semua urusan pada-Nya. Hendaknya nilai-nilai tauhid merasuk dalam diri. Pujian selalu terucap indah hanya pada-Nya. Menunggu dengan setia jalan keluar dari-Nya dan senantiasa berbaik sangka pada-Nya.

Dan Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, bagi-Nyalah segala puji di dunia dan di akhirat, dan bagi-Nyalah segala penentuan dan hanya kepada-Nyalah kami dikembalikan (Al-Qashash : 70).

فاعلم أنه لا إله إلا الله واستغفر لذنبك وللمؤمنين والمؤمنات والله يعلم متقلبكم ومثواكم

Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Hak) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu. (Muhammad : 19)..

Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Maha Suci, Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(Al-Hasyr : 22-24)

Maka sejak detik ini, menit ini, hari ini tancapkanlah Laa Ilaaha Illaa Allah…. Tiada Tuhan selain Allah di lubuk sanubari kita yang paling dalam di dinding kesadaran kita yang paling peka dan di ubun-ubun keyakinan kita yang paling lembut, pada sel terdalam otak kita. Agar kalimat tauhid kita melahirkan biah manisnya yang bisa dinikmati oleh semesta.