Minggu, 30 Agustus 2009

Shalat Tahajud Setelah Witir Tarawih


assalaamualikum ww,

pak ustadz saya mau bertanya mengenai shalat tahajjud di bulan ramadhan, setelah kita melaksanakan shalat taraweh dan witir apakah kita masih dibolehkan untuk bertahajjud lagi tengah malamnya?

karna saya pernah membaca jika sudah melaksanan shalat witir maka tidak ada lagi shalat sunnah sesudahnya.

sebelumnya saya ucapkan banyak terimakasih.

wassalam,

irwan

.

Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Irwan yang dimuliakan Allah swt

Tahajjud juga disebut dengan qiyamullail, sebagaimana firman Allah swt :

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَّكَ عَسَى أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا


Artinya : ”Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji.” (QS. Al Israa ” 79)

Juga firman Allah swt :

يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ ﴿١﴾
قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا ﴿٢﴾
نِصْفَهُ أَوِ انقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا ﴿٣﴾

Artinya : ”Hai orang yang berselimut (Muhammad). Bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya) (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit.” (QS Al Muzammil : 1 -3)

Namun demikian ada juga yang mengatakan bahwa tahajjud dikerjakan pada pertengahan atau akhir malam dan dilakukan setelah orang itu bangun dari tidur. Sedangkan qiyamullail bisa dilakukan di awal, pertengahan atau akhir malam dan tidak mesti setelah bangun dari tidur.

Adapun shalat tarawih maka para ulama juga menyebutnya dengan qiyamullail di bulan ramadhan yang dilakukan setelah menunaikan shalat isya dengan memanjangkan berdirinya. Ia bisa juga disebut dengan tahajjud. Dinamakan tarawih dikarenakan terdapat istirahat setelah dua kali salam. Shalat tarawih ini merupakan sunnah muakkadah berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairoh bahwa Rasulullah saw bersabda,”Barangsiapa yang melakukan qiyamullail (tarawih) dengan penuh keimanan dan keikhlasan maka dihapuskan dosa-dosanya yang lalu.”

Tentang witir sendiri hukumnya adalah sama baik pada bulan ramadhan maupun diluar bulan ramadhan, yaitu tidak ada dua witir dalam satu malam sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam yang lima kecuali Ibnu Majah bahwa Rasulullah saw bersabda,”Tidak ada dua witir dalam satu malam.” juga hadits yang diriwayatkan oleh jama’ah kecuali Ibnu Majah bahwa Rasulullah saw bersabda,”Jadikanlah akhir shalat kalian pada malam hari adalah witir.”

Maka bagi siapa yang telah melakukan shalat tarawih dan witir bersama imam lalu dirinya ingin melakukan kembali shalat malamnya maka hendaklah dia melakukan shalat qiyamullailnya saja (genap) tanpa melakukan witir lagi berdasarkan hadits-hadits diatas, demikian menurut para ulama Hanafi, Maliki, Hambali dan pendapat yang masyhur dari para ulama Syafi’i. Dalil lainnya yang dipakai mereka adalah apa yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Ummu Salamah bahwa Nabi saw melakukan shalat dua rakaat setelah witir.” Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini juga diriwayatkan dari Abu Umamah, Aisyah dan sahabat lainnya dari Rasulullah saw.

Ada juga cara kedua yang merupakan pendapat para ulama Syafi’i—kitab ”al Mausu’ah al Fiqhiyah (2/9827)”—yaitu hendaklah orang itu mengawalinya dengan melakukan shalat sunnahnya satu rakaat untuk menggenapkan witir yang telah dilakukan sebelumnya kemudian melakukan shalatnya yang genap sekehendaknya kamudian ditutup dengan witir. Hal ini diriwayatkan dari Utsman, Ali, Usamah, Sa’ad, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas sebagaimana ditegaskan oleh Imam Nawawi dan Ibnu Qudamah. Dan dalil yang bisa jadi digunakan mereka adalah hadits,”Jadikanlah akhir shalat kalian pada malam hari adalah witir.”

Wallahu A’lam

Waktu Pelaksanaan I'tikaf

Assalamu'alaykum wr wb,

Yth Ustaz,

Saya insya Allah berencana melakukan iktikaf pada bulan ramadhan ini.

Mengenai waktunya, apakah pada siang hari atau malam hari? atau siang malam?

Apa saja syarat-syarat lainnya?

Terima kasih banyak.

wassalam,

Kalam Dzikra

Kalam Dzikra


.

Jawaban

Waalaikumusalam Wr Wb

Semoga Allah swt memudahkan rencana anda untuk dapat beri’tikaf pada akhir-akhir ramadhan nanti.

Terjadi perselisihan ulama tentang pengertian itikaf menurut syariah :

1. Para ulama Hanafi mengatakan bahwa itikaf adalah menetap di masjid yang didalamnya dilakukan shalat berjamaah dalam keadaan berpuasa serta niat untuk beritikaf sedangkan menetap adalah rukunnya. Adapun masjid jamaah yang dimaksud adalah masjid yang memiliki imam dan muadzin baik didalamnya dilakukan shalat lima waktu atau tidak.

2. Para ulama Maliki mengatakan bahwa itikaf adalah berdiam diri (menetap) yang dilakukan seorang muslim yang mumayyiz di sebuah masjid dalam keadaan berpuasa serta menahan diri dari jima’ dan pendahuluannya selama sehari semalam atau lebih untuk beribadah dengan menyertakan niat.

3. Para ulama Syafi’i mengatakan bahwa itikaf adalah berdiam diri di masjid yang dilakukan seorang tertentu dengan menyertakan niat.

4. Para ulama Hambali mengatakan bahwa itikaf adalah berdiam diri di masjid untuk taat kepada Allah dengan keadaan tertentu dari seorang muslim, berakal dan tamyiz dalam keadaan suci dari hal-hal yang mewajibkannya mandi. Waktu minimalnya adalah sesaat.

Dalil-dalil disyariatkannya itikaf adalah terdapat didalam Al Qur’an, sunnah maupun ijma’ para ulama :

1. Firman Allah swt :

وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

Artinya : ”Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid.” (QS. Al Baqoroh : 187)

2. Sedangkan sunnah adalah apa yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, Anas dan Aisyah bahwa Nabi saw beritikaf di sepuluh malam terakhir dari Ramadhan sejak beliau saw datang ke Madinah hingga Allah swt mewafatkannya saw.” (Muttafaq Alaihi). Imam Zuhri mengatakan,”Manusia memang aneh, mengapa mereka meninggalkan itikaf padahal Rasulullah saw melakukannya dan tidak pernah meninggalkannya. Beliau saw tidak pernah meninggalkanya hingga dirinya meninggal dunia.”

Adapun waktu yang disukai untuk itikaf ini adalah pada bulan Ramadhan atau bulan lainnya, sedangkan tentang waktu minimalnya maka terjadi perselisihan :

1. Para ulama Hanafi mengatakan bahwa itikaf minimal dilakukan sejenak tanpa ada batasan waktu. Berpuasa bukanlah persayaratan dalam itikaf sunnah.

2. Para ulama Maliki mengatakan bahwa waktunya adalah sehari semalam, sedangkan yang paling baik adalah sepuluh hari. Tidak sah itikaf bagi orang yang tidak berpuasa walaupun dirinya memiliki uzur. Barangsiapa yang tidak mampu berpuasa maka tidak sah itikafnya.

3. Pendapat yang paling benar dari para ulama Syafi’i adalah itikaf disayaratkan menetap sesuai kadar berdiam diri itu sendiri. Waktunya adalah lebih sedikit dari waktu lamanya thuma’ninah saat ruku’ atau sejenisnya.

4. Sedangkan para ulama Hambali mengatakan bahwa paling sedikit seorang mu’takif adalah sejenak walaupun sekelabatan saja.

Sedangkan persyratan dari itikaf ini adalah :

1. Islam ; tidaklah sah itikaf yang dilakukan oleh orang kafir karena hal itu merupakan bagian dari keimanan.

2. Berakal atau tamyiz ; tidaklah sah itikaf seorang yang gila atau sejenisnya, tidak juga seorang anak yang belum tamyiz karena mereka tidak termasuk ahli ibadah.

3. Dilakukan di masjid; tidaklah sah itikaf yang dilakukan di rumah-rumah kecuali para ulama Hanafi yang membolehkan seorang wanita beritikaf di masjid didalam rumahnya, ia adalah tempat yang dikhususkan untuk shalat.

4. Niat; tidaklah sah itikaf kecuali dengan niat, sebagaimana hadits Nabi saw,”Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung dari niatnya.”

5. Puasa; ini merupakan syarat mutlak menurut Maliki dan persyaratan menurut Hanafi didalam itikaf nazar saja bukan yang sunnah. Puasa ini juga bukan persayaratan menurut Syafi’i dan Hambali sehingga itikaf sah walau tanpa berpuasa kecuali jika orang itu bernazar puasa bersama itikaf..

6. Bersih dari junub, haidh dan nifas menjadi pesyaratan menurut jumhur. Para ulama Maliki berpendapat bahwa bersih dari junub merupakan syarat diperbolehkannya orang itu menetap di masjid bukan menjadi syarat sahnya itikaf. Apabila seorang yang beritikaf bermimpi maka diwajibkan baginya untuk mandi baik di masjid jika terdapat air atau keluar dari masjid.

7. Izin dari suami bagi seorang istri merupakan syarat menurut Hanafi, Syafi’i dan Hambali. Tidaklah sah itikaf seorang wanita tanpa izin dari suaminya walaupun itikafnya itu adalah itikaf nazar. Sedangkan Maliki berpendapat bahwa itikaf seorang wanita yang tanpa izin suaminya tetap sah namun berdosa. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu)

Wallahu A’lam.

Menggapai Shalat Khusyu'

Assalamualaikum wr.wb

Ustad sigit yg sya hormati,,,

saya ingin bertanya,bagaimana sholat seseorang bisa dibilang sudah khusu,,,

soalnya sampai sekarang sya belum merasa sholat sya itu sudah khusuyu,,,

terima kasih,

wasalamualaikum wr.wb

ichai


.

Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Ichai yang dimuliakan Allah swt

Al Qurthubi mengatakan bahwa khusyu adalah suasana didalam jiwa yang tertampakkan pada anggota tubuhnya berupa ketenangan dan ketundukan. Sedangkan Qatadah mengatakan bahwa khusyu didalam hati berupa rasa takut dan memejamkan mata ketika shalat.

Diantara nash-nash yang berbicara tentang tuntutan khusyu didalam shalat ini :

الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ

Artinya, ”(yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya.” (QS. Al Mukminun : 2)

وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ

Artinya : ”Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'.” (QS. Al Baqoroh : 45)

Diantaranya pula, hadits ’Uqbah bin ’Amir bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda,”Tidaklah seorang muslim berwudhu lalu membaguskan wudhunya kemudian berdiri melakukan shalat dua raka’at dengan ketundukan hati dan wajahnya kecuali wajib baginya surga.” (HR. Muslim)

Dari Utsman berkata,”Aku mendengar Rasulullah saw bersabda,”Tidaklah seorang muslim mendatangi shalat wajib lalu membaguskan wudhu, khsuyu dan ruku’nya kecuali ia menjadi pelebur dosa-dosanya yang lalu kecuali dosa besar. Dan itu berlaku sepanjang masa.” (HR. Muslim)

Sedangkan hukum khusyu itu sendiri adalah sunnah dari sunnah-sunnah shalat menurut jumhur ahli ilmu. Mereka menganggap sah orang yang didalam shalatnya memikirkan urusan-urusan duniawi selama dia tetap melakukan gerakan-gerakan shalatnya secara baik.

Oleh karena itu hendaklah setiap orang yang shalat memperhatikan perkara-perkara berikut agar khusyu didalam setiap shalatnya :

1. Tidak menghadirkan didalam hatinya kecuali segala sesuatu yang ada didalam shalat.

2. Menundukkan anggota tubuhnya dengan tidak memain-mainkan sesuatu dari anggota tubuhnya, seperti : jenggot atau sesuatu yang diluar anggota tubuhnya, seperti : meratakan selendang atau sorbannya. Hendaknya penampilan lahiriyahnya menampakkan keskhuyuan batiniyahnya.

3. Hendaklah merasakan bahwa dirinya tengah berdiri dihadapan Raja dari seluruh raja Yang Maha Mengetahui segala yang tersimpan dan tersembunyi.

4. Mentadabburi bacaan shalatnya karena hal itu dapat menyempurnakan kekhusyuan.

5. Mengosongkan hatinya dari segala kesibukan selain shalat karena hal itu dapat membantunya untuk khsusyu dan janganlah memperpanjang atau melebarkan pembicaaan didalam hatinya. (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 6643)

Wallahu A’lam

Alasan 17 Ramadhan sebagai Nuzulul Qur'an

Assalamu'alaikum ustazd....

Sejauh yg saya ketahui sejak dulu, bahwa Al Qur'an diturunkan pada Bulan Ramadhan yaitu pada malam Lailatul Qadar. Rasul SAW pernah bersabda bahwa malam lailatul Qadar itu adanya pada 10 malam terakhir Bulan Ramadhan yaitu malam-malam ganjil. Yang ingin saya tanyakan adalah dasar apakah selama ini umat islam memperingati malam Nuzulul Qur'an itu pada 17 Ramadhan ?

Atas jawaban ustazd saya ucapkan terima kasih...

Abie Syifa


.

Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Abie Syifa yang dimuliakan Allah swt

Tentang bagaimana Al Qur’an itu diturunkan dari Lauh Mahfuzh maka ada beberapa pendapat dikalangan para ulama :

1. Al Qur’an diturunkan sekaligus ke langit dunia pada malam Lailatul Qodr kemudian diturunkan dengan cara berangsur-angsur sepanjang kehidupan Nabi saw setelah beliau diutus di Mekah dan Madinah. Banyak para ulama yang mengatakan bahwa pendapat inilah yang paling benar berdasarkan suatu riwayat dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abbas yang telah dikeluarkan oleh Hakim dan Baihaqi serta yang lainnya, dia mengatakan bahwa Al Qur’an diturunkan pada suatu malam ke langit dunia yaitu Lailatul Qodr kemudian diturunkan setelah itu selama dua puluh tahun kemudian dia membaca :

وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا


Artinya : “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik .” (QS. Al Furqon : 33)

وَقُرْآناً فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنزِيلاً


Artinya : “Dan Al Quran itu telah kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al Isra : 106)

Hakim dan Ibnu Abi Syaibah mengeluarkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan,”... maka Al Qur’an diletakkan di Baitul Izzah dari langit dunia lalu Jibril turun dengan membawanya kepada Nabi saw.’

Terdapat beberapa riwayat lain dari Ibnu Abbas dengan sanad-sanad yang tidak bermasalah yang menguatkan makna itu.

2. Al Qur’an diturunkan ke langit dunia pada 20 malam Lailatul Qodr atau 23 atau 20 atau 25—sebagaimana adanya perbedaan pendapat tentang lamanya Rasulullah saw menetap di Mekah setelah diutus—di setiap malam lailatul qodr diturunkan sejumlah tertentu sesuai dengan ketetapan Allah swt setiap tahunnya lalu turun setelah itu secara berangsur-angsur di seluruh tahunnya, demikianlah pendapat Fakhrur Rozi dan dia sendiri tidak berpendapat tentang apakah pendapat ini atau pendapat pertama yang lebih utama.

3. Al Qur’an diturunkan pertama kali pada malam Lailatul Qodr kemudian diturunkan setelah itu dengan cara berangsru-angsur pada waktu yang berbeda-beda, demikianlah pendapat Sya’bi.

4. Al Qur’an diturunkan dari Lauh Mahfuz sekaligus dan malaikat-malaikat penjaga menurunkannya secara berangsur-angsur kepada jibril selama 20 malam lalu Jibril menurunkannya secara berangsur-angsur kepada Nabi saw selama 20 tahun. Ini adalah pendapat yang aneh. (Fatawa al Azhar juz VII hal 469)

Adapun yang menjadi dasar kaum muslimin didalam memperingati Nuzulul Qur’an pada tanggal 17 Ramadhan dimungkinkan karena pada tanggal itu diturunkannya ayat pertama dari surat al Alaq kepada Nabi Muhammad saw,

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ ﴿١﴾
خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ ﴿٢﴾
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ ﴿٣﴾
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ ﴿٤﴾
عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ ﴿٥﴾

Artinya : ”Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Maksudnya: Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca.” (QS. Al A’laq : 1 – 5)

Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir didalam kitabnya ”Al Bidayah wa an Nihayah” menukil dari al Waqidiy dari Abu Ja’far al Baqir yang mengatakan bahwa awal diturunkannya wahyu kepada Rasulullah saw adalah pada hari senin tanggal 17 Ramadhan akan tetapi ada juga yang mengatakan tanggal 24 Ramadhan.

Wallahu A’lam

Minggu, 23 Agustus 2009

Menghunjamkan Kalimat Tauhid Kita


Laa Ilaaha IllaaAllah…Tiada Tuhan selain Allah. Deklarasi paling sakral dan kudus yang membebaskan manusia dari cenkeraman bendawi, dari kungkungan diri, dari jeratan dan jebakan nafsu

Laa Ilaaha Illaa Allah…Tiada Tuhan selain Allah. Kalimat yang senantiasa meluncur deras dari mulut para Nabi dari Rasul, shiddiqin, muqarrabin, syuhada’ dan salihin. Kalimat yang menghiasi bibir mereka yang merindu Allah Azza wa Jalla..

Laa Ilaaha IllaaAllah…Tiada Tuhan selain Allah. Deklarasi paling sakral dan kudus yang membebaskan manusia dari cenkeraman bendawi, dari kungkungan diri, dari jeratan dan jebakan nafsu, dari kejahatan-kejahatan bisikan kotor syetan.

Laa Ilaaha Illaa Allah….Sebuah penafian segala yang diluar Allah dan penetapan bahwa hanya Allah yang pantas Wujud. Tiada yang pantas dipuja selain Allah. Tiada yang pantas disuyukuri selain Allah. Tiada yang pantas diminta pertolongan dan munajat selain Dia. Semua makhluk adalah fana, semua makhluk akan sirna, seluruh makhluk akan binasa.. Allah-lah yang kekal abadi…Allah-lah yang memiliki kebaqa’-an hakiki.

Allah-lah yang memberikan segala nikmat yang melimpah ruah pada manusia. Allah-lah yang mengucurkan hujan dari langit, yang membuat mata air mengalir, yang membuat api bisa membakar…Allah-lah yang memberikan rizki pada setiap makhluk dengan kasih-Nya dan cinta-Nya…Allah-lah yang menghidupkan makhluk-makhluk dan yang mematikan mereka. Seluruh kekuasaan dan segenap kemampuan berada di tangan-Nya. Allah Maha Perkara. Dia Tuhan yang mutlak kekuasaan-Nya, yang tidak terbatas kemampuan-Nya..Tuhan yang tidak beranak dan tidak diperanakka. Esa dan Tunggal.

Laa Ilaaha Illaa Allah….Tiada Tuhan selain Allah. Tuhan Yang Maha Pengasih Maha Penyayang. Yang mencurahkan nikmat-Nya pada makhluk-Nya walau tanpa diminta…yang melimpahkan nikmat-Nya sampai pada manusia paling jahat, durjana dan durhaka. Tiada Tuhan selain Allah… Tuhan manusia dan jin, Tuhan malaikat dan syetan…Tuhan makhluk melata dan yang terbang.

Laa Ilaaha Illaa Allah….Tiada Tuhan selain Allah. Kalimat yang merasuk demikian dalam pada jiwa para Nabi…dalam jantung para wali. Kalimat yang menggetarkan jiwa mereka…meluluhkan kesombongan mereka…menghancurkan keangkuhan mereka. Kalimat yang menuntun mereka untuk senantiasa mampu tahu dan sadar diri. Kalimat yang menggairahkan ruhani dan menyegarkan nafas kehambaan mereka, kalimat yang melejitkan enerji ketakwaan dan mengobarkan semangat juang mereka. Yang membuat mereka luruh tiada daya di depan keagungan-Nya.

Laa Ilaaha Illaa Allah...Kalimat yang menghiasi orang-orang bertakwa dalam semua gerak perilaku mereka yang terlahir dalam amal-amal saleh mereka..

Laa Ilaaha Illaa Allah….Tiada Tuhan selain Allah. Adalah panji yang dipancangkan para Nabi dan dikibarkan para Rasul dengan semangat pengabdian pada Allah Tuhan Penguasa Arasy yang agung. Ia adalah panji yang membedakan antara kekufuran dan keimanan antara kebenaran dan kebatilan antara benderang dan kegelapan. Antara hidayah dan kesesatan. Kalimat yang mendorong Nabi berjuang tiada henti menyampaikan pesan-pesan Ilahi. Menebarkan kasih, menyuburkan derma, menumbuhkan keadilan di pelosok bumi. Kalimat yang memberangus ketidakadilan, menghempaskan kelaliman, menenggelamkan angkara murka dari muka bumi. Kalimat yang membuat mulut Fir’aun menjadi tersumbat, mulut Namrudz menjadi tercekat. Mulut Haman tak mampu bernafas Kalimat yang membuat Asiah menjadi pemberani tanpa tanding dan kokoh bertahan walau berada di sarang Fir’aun, yang membuat Masyithah rela direndam dalam kuali panas bersama anak-anak terkasihnya yang masih ada dalam buaian. Kalimat yang menjadikan Bilal sang budak bersikap berani tiada tara berhadapan dengan para kafir Quraisy dengan menyebut Ahad…Ahad…Ahad. Kalimat yang membuat Sumayyah ibu Yassir tak gentar menghadapi kematian di depan mata. Kalimat yang melahirkan para pejuang dan mujahid, para salehen, shiddiqin dan muqarrabin.

Laa Ilaaha Illaa Allah...Kalimat yang mengangkat manusia dari perbudakan antara manusia menjadi seorang hamba Tuhan semesta. Dengan Laa Ilaaha Illaa Allah…. segala hal menjadi ringan…semua kesulitan tak terasakan. Ragam problema menjadi hiburan.

Dengan Laa Ilaaha Illaa Allah…. Tanah Persia dibebaskan, kekaisaran Romawi dimerdekakan dari kezhaliman-kezhaliman para penguasa kejam.

Dengan Laa Ilaaha Illaa Allah…. manusia sepenuhnya menjadi hamba Allah Tuhan semesta alam dan tidak akan rela dijadikan sebagai budak nafsu dan syetan.

Laa Ilaaha Illaa Allah…adalah pohon yang baik yang akarnya menghunjam ke bumi dengan cabang-cabang mencakar langit yang mempersembahkan buah ranumnya setiap saat dengan idzin Tuhannya.

ألم تر كيف ضرب الله مثلا كلمة طيبة كشجرة طيبة أصلها ثابت وفرعها في السماء. تؤتي أكلها كل حين بإذن ربها ويضرب الله الأمثال للناس لعلهم يتذكرون

Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat (Ibrahim : 24-25)

Laa Ilaaha Illa Allah…, jika kita melakukan dosa kemudian kita meminta ampunan pada-Nya maka Dia akan mengampuni kita. Jika kita bersyukur pada-Nya maka Dia akan menambahkan nikmat-Nya kepada kita. Jika kita meminta pada-Nya maka Dia akan memberi apa yang kita minta. Jika kita melakukan kesalahan, maka Dia akan menutupinya.

Jika kita kembali, inabah pada-Nya, maka Dia akan menerima kita dengan terbuka. Jika kita bertaubat, Dia sangat senang dengan taubat kita. Jika kita menyebut-Nya Dia akan menyebut kita di tengah para malaikat-Nya. Jika Allah memberi ujian pada kita itu artinya Dia sedang menyeleksi kita. Jika kita tertimpa bencana –dan kita sabar menerima—maka Dia akan membuat kita terhapus dari dosa-dosa.

Maka wajib bagi kita untuk mengikhlaskan amal untuk-Nya semata. Jujur dalam kesendirian kita, senantiasa berada di gerbang ubudiyah dan berlutut pada-Nya dengan penuh kerendahan jiwa. Hendaknya kita senantiasa memanggil-Nya di tengah malam dan di ujung siang. Berdzikir pada-Nya, mensyukuri nikmat-Nya dan mengakui segala kekurangan kita. Akui bahwa semua nikmat berasal dari-Nya dan jagalah aturan-aturan Allah. Tunaikan semua hak-Nya, berbakti penuh kepada-Nya. Hendaknya kita senantiasa siap berada di bawah kibaran panji-Nya, melepaskan diri dari semua hal yang membuat-Nya murka. Kita harus berlepas diri dari anggapan bahwa kekuatan dan upaya datang dari kita. Kita harus bangga menisbatkan semua ubudiyah kepada-Nya. Kita mencinta dan membenci hanya karena-Nya. Bertawakkallah kepada Allah. Serahkan semua urusan pada-Nya. Hendaknya nilai-nilai tauhid merasuk dalam diri. Pujian selalu terucap indah hanya pada-Nya. Menunggu dengan setia jalan keluar dari-Nya dan senantiasa berbaik sangka pada-Nya.

Dan Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, bagi-Nyalah segala puji di dunia dan di akhirat, dan bagi-Nyalah segala penentuan dan hanya kepada-Nyalah kami dikembalikan (Al-Qashash : 70).

فاعلم أنه لا إله إلا الله واستغفر لذنبك وللمؤمنين والمؤمنات والله يعلم متقلبكم ومثواكم

Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Hak) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu. (Muhammad : 19)..

Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Maha Suci, Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(Al-Hasyr : 22-24)

Maka sejak detik ini, menit ini, hari ini tancapkanlah Laa Ilaaha Illaa Allah…. Tiada Tuhan selain Allah di lubuk sanubari kita yang paling dalam di dinding kesadaran kita yang paling peka dan di ubun-ubun keyakinan kita yang paling lembut, pada sel terdalam otak kita. Agar kalimat tauhid kita melahirkan biah manisnya yang bisa dinikmati oleh semesta.

Shalat Tarawih Rasulullah

Assalamualaikum Wr. Wb.

Bagaimanakah shalat tarawih Rasulullah yang sesungguhnya?

terima kasih

Wassalam

Sutaman

.

Jawaban

Wa'alaikumusalam Wr Wb

Saudara Sutaman yang dimuliakan Allah swt

Tentang shalat tarawih yang dilakukan Rasulullah saw telah diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa dirinya pernah bertanya kepada Aisyah tentang bagaimana shalat Rasulullah saw di bulan Ramadhan? Lalu Aisyah menjawab,”Bahwa beliau tidaklah menambah didalam bulan ramadhan juga tidak di bulan selainnya dari sebelas raka’at. Beliau saw shalat empat rakaat dan janganlah anda bertanya tentang bagus dan panjangnya rakaat itu. Kemudian beliau saw shalat empat rakaat dan janganlah anda bertanya tentang bagus dan panjangnya rakaat itu. Kemudian beliau saw shalat tiga rakaat.” Lalu aku berkata,”Wahai Rasulullah, apakah engkau tidur sebelum melakukan shalat witir?” Beliau saw menjawab,”Wahai Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur namun hatiku tidaklah tidur.”

Perkataannya ”beliau saw shalat empat rakaat” tidaklah meniadakan bahwa beliau saw mengucapkan salam setelah dua rakaat, sebagaiamana sabda Rasulullah saw,”Shalat malam dua rakaat dua rakaat” dan perkataannya,”Beliau shalat tiga rakaat” maknanya adalah beliau saw melakukan shalat dua rakaat dan satu rakaat witir, sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dari Urwah dari Aisyah berkata,”Rasulullah saw melakukan shalat malam sebelas rakaat dengan witir satu rakaat.”

Hadits Aisyah diatas menunjukkan bahwa shalat tarawih yang dilakukan oleh Rasulullah saw begitu panjang dan bagus dalam pengerjaannya sebagaimana shalat-shalat malamnya pada umumnya di luar bulan ramadhan.

Namun demikian bukan berarti orang yang tidak melaksanakan shalat tarawih sebelas rakaat kemudian dipersalahkan karena tidak mengikuti contoh yang dilakukan oleh Rasulullah saw.

Sudah menjadi ijma’ para sahabat pada masa Umar bin Khottob bahwa manusia melakukan shalat tarawih sebanyak dua puluh rakaat. Meskipun hal ini tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah saw bukan berarti bahwa hal ini tidak dianggap sunnah karena beliau saw telah memerintahkan kita untuk mengikuti apa-apa yang dilakukan oleh para Khulafaur Rasyidin, termasuk Umar bin Khottob, sebagaimana diriwayatkan oleh Tirmidzi dari al ’Irabdh bin Sariyah bahwa Rasulullah saw bersabda,”Hendaklah kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasydin al Mahdiyyin setelahku, gigitlah dengan gigi graham.”

Didalam al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 9635 – 9636 disebutkan bahwa jumhur fuqaha dari kalangan madzhab Hanafi, Syafi’i, Hambali dan sebagian Maliki berpendapat bahwa shalat tarawih dilakukan dengan dua puluh rakaat, sebagaimana diriwayatkan oleh Malik dari Yazid bin Ruman dan Baihaqi dari as Saib bin Yazid tentang shalat manusia pada masa Umar adalah dua puluh rakaat.

Al Kasani mengatakan bahwa Umar pernah mengumpulkan para sahabat Rasul saw pada bulan ramadhan dengan diimami oleh Ubay bin Ka’ab untuk melakukan shalat sebanyak dua puluh rakaat dan tak seorang pun mengingkarinya sehingga hal itu menjadi ijma dari mereka dalam hal itu.Ad Dasuqi dan yang lainnya mengatakan bahwa hal itu merupakan perbuatan para sahabat dan tabi’in. Sedangkan Ibnu Abidin mengatakan bahwa hal itu adalah perbuatan manusia di bagian barat maupun timur.

Diriwayatkan oleh Malik dari as Saib bin Yazid berkata,”Umar bin Khottob pernah memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim ad Dariy untuk mengimami manusia dengan sebelas rakaat.” dia mengatakan bahwa imam membacanya dengann dua ratus ayat sehingga kami bersandar dengan tongkat karena lamanya berdiri dan kami tidaklah pulang kecuali mendekati fajar.” diriwayatkan oleh Malik dari Yazid bin Ruman bahwa dia mengatakan,”Manusia melakukan shalat pada masa Umar bin Khottob pada bulan ramadhan sebanyak dua puluh tiga rakaat.” diperkuat lagi oleh Baihaqi dan al Bajiy serta lainnya dari as Saib bin Yazid mengatakan bahwa mereka melakukan shalat dimasa Umar bin Khottob pada bulan ramadhan sebanyak dua puluh rakaat.”

Al Bajiy mengatakan bahwa kemungkinan Umar memerintahkan shalat sebelas rakaat serta memerintahkannya untuk memanjangkan bacaannya, dengan membaca dua ratus ayat setiap rakaatnya karena memanjangkan bacaan menjadi hal yang diutamakan. Dan ketika manusia saat itu mengalami kelemahan untuk itu maka Umar pun memerintakan agar shalat dikerjakan dengan dua puluh rakaat untuk meringankan mereka dari panjangnya berdiri saat shalat dan untuk mendapatkan beberapa keutamanaan dengan penambahan rakaat. Al Adawiy mengatakan bahwa sebelas rakaat adalah perintah awalnya lalu berubah menjadi dua puluh rakaat.”

Wallahu A’lam

Hadits-Hadits Dhaif Yang Tersebar Seputar Bulan Ramadhan

Sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla telah menetapkan sunnah Nabi secara adil, (untuk) memusnahkan penyimpangan orang-orang sesat dari sunnah, dan mematahkan takwilan para pendusta dari sunnah dan menyingkap kepalsuan para pemalsu Sunnah. Sejak bertahun-tahun sunnah telah tercampur dengan hadits- hadits dhaif, dusta, diada-adakan atau lainnya. Hal ini telah diterangkan oleh para imam terdahulu dan ulama salaf dengan penjelasan dan keterangan yang sempurna.

Kami menilai perlunya dibawakan pasal ini pada kitab kami, karena adanya sesuatu yang teramat penting yang tidak diragukan lagi sebagai peringatan bagi manusia, dan sebagai penegasan terhadap kebenaran, maka kami katakan:

Sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla telah menetapkan sunnah Nabi secara adil, (untuk) memusnahkan penyimpangan orang-orang sesat dari sunnah, dan mematahkan takwilan para pendusta dari sunnah dan menyingkap kepalsuan para pemalsu Sunnah. Sejak bertahun-tahun sunnah telah tercampur dengan hadits- hadits dhaif, dusta, diada-adakan atau lainnya. Hal ini telah diterangkan oleh para imam terdahulu dan ulama salaf dengan penjelasan dan keterangan yang sempurna.

Orang yang melihat dunia para penulis dan para pemberi nasehat akan melihat bahwa mereka -kecuali yang diberi rahmat oleh Allah- tidak memperdulikan masalah yang mulia ini walaupun sedikit perhatianpun, walaupun banyak sumber ilmu yang memuat keterangan yang shahih yang menyingkap yang bathil. Maksud kami bukan membahas dengan detail masalah ini, serta pengaruh yang akan terjadi pada ilmu dan manusia, tapi akan kita cukupkan sebagian contoh yang baru masuk dan mashyur di kalangan manusia dengan sangat masyhurnya, hingga tidaklah engkau membaca makalah atau mendengar nasehat kecuali hadits-hadits ini -sangat disesalkan- menduduki kedudukan yang tinggi. (Ini semua) sebagai pengamalan hadits: “Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat…” (riwayat Bukhari 6/361), dan sabda beliau: “Agama itu nasehat…”(riwayat Muslim no.55)

Maka kami katakan wabillahi taufiq:

Sesungguhnya hadits-hadits yang tersebar di masyarakat banyak sekali, hingga mereka hampir tidak pernah menyebutkan hadits shahih -walau banyak- yang bisa menghentikan mereka dari menyebut hadits dhaif. Semoga Allah merahmati Al Imam Abdullah bin Mubarak yang mengatakan: “(Menyebutkan) hadits shahih itu menyibukkan (diri) dari yang dhaifnya.” Jadikanlah imam ini sebagai suri tauladan kita, jadikanlah ilmu shahih yang telah tersaring sebagai jalan (hidup) kita.

Dan (yang termasuk) dari hadits-hadits yang tersebar digunakan (sebagai dalil) di kalangan manusia pada bulan Ramadhan diantaranya:

1. “Kalaulah seandainya kaum muslimin tahu apa yang ada di dalam Ramadhan, niscaya umatku akan berangan-angan agar satu tahun Ramadhan seluruhnya. Sesungguhnya surga dihiasi untuk Ramadhan dari awal tahun kepada tahun berikutnya…” Hingga akhir hadits ini.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (no. 1886) dan Ibnul Jauzi di dalam Kitabul Mauduat (2/188-189) dan Abul Ya'la di dalam Musnad-nya sebagaimana pada Al Muthalibul 'Aaliyah (Bab/A-B/ tulisan tangan) dari jalan Jabir bin Burdah dari Abu Mas'ud Al Ghifari.

Hadits ini maudhu' (palsu), penyakitnya pada Jabir bin Ayyub, biografinya ada pada Ibnu Hajar di dalam Lisanul Mizan (2/101) dan beliau berkata: “Masyhur dengan kelemahannya.” Juga dinukilkan perkataan Abu Nu'aim, “Dia suka memalsukan hadits,” dan Bukhari, berkata, “Mungkarul hadits” dan dari An Nasa'i, “matruk (ditinggalkan) haditsnya.”

Ibnul Jauzi menghukumi hadits ini sebagai hadits palsu, dan ibnu Khuzaimah berkata serta meriwayatkannya, “Jika haditsnya shahih, karena dalam hatiku ada keraguan pada Jarir bin Ayyub Al Bajali.”

2. “Wahai manusia, sungguh bulan yang agung telah (menaungi) kalian, bulan yang di dalamnya terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan, Allah menjadikan puasa (pada bulan itu) sebagai satu kewajiban dan menjadikan shalat malamnya sebagai amalan sunnah. Barangsiapa yang mendekatkan diri pada bulan tersebut dengan (mengharapkan) suatu kebaikan, maka sama (nilainya) dengan menunaikan perkara wajib pada bulan yang lain…. Inilah bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya adalah merupakan pembebasan dari api neraka…” sampai selesai.

Hadits ini juga panjang, kami cukupkan dengan membawakan perkataan ulama yang paling masyhur. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887) dan Al Muhamili di dalam Amalinya (293) dan Al Ashbahani dalam At Targhib (q/178, tulisan tangan) dari jalan Ali bin Zaid Jad'an dari Sa'id bin Al Musayyib dari Salman.

Hadits ini sanadnya dhaif, karena lemahnya Ali bin Zaid, berkata Ibnu Sa'ad, “Di dalamnya ada kelemahan dan jangan berhujjah dengannya,” berkata Imam Ahmad bin Hanbal, “Tidak kuat,” berkata Ibnu Ma'in, “Dhaif” berkata Ibnu Abi khaitsamah, “Lemah di segala penjuru,” dan, berkata Ibnu Khuzaimah, “Jangan berhujjah dengan hadits ini, karena jelek hafalannya.”

Demikianlah di dalam Tahdizbut Tahdzib (7/322-323). Dan Ibnu Khuzaimah berkata setelah meriwayatkan hadits ini, “Jika benar kabarnya.” Berkata Ibnu Hajar di dalam Al Athraf, “Sumbernya pada Ali bin Zaid bin Jad'an, dan dia lemah,” sebagaimana hal ini dinukilkan oleh Imam As Suyuthi di dalam Jam'ul Jawami' (no. 23714-tertib urutannya).

Dan Ibnu Abi Hatim menukilkan dari bapaknya di dalam Illalul Hadits (1/249), “Hadits yang mungkar.”

3. “Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat.”

Hadits tersebut merupakan potongan dari hadits riwayat Ibnu Adi di dalam Al Kamil (7/2521) dari jalan Nahsyal bin Sa'id, dari Ad Dhahhak dari ibnu Abbas. Nahsyal termasuk yang ditinggal (karena) dia pendusta dan Ad Dhahhak tidak mendengarkan dari ibnu Abbas. Diriwayatkan oleh At Thabrani di dalam Al Ausath (1/q 69/ Al Majma'ul Bahrain) dan Abu Nu'aim di dalam Ath Thibun Nabawiy dari jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abi Daud, dari Zuhair bin muhammad, dari Suhail bin Abi Shalih dari Abi hurairah. Dan sanad hadits ini lemah.

Berkata Abu Bakar Al Atsram, “Aku mendengar Imam Ahmad -dan beliau menyebutkan riwayat orang-orang Syam dari Zuhair bin muhammad- berkata, “Mereka meriwayatkan darinya (Zuhair -pent) beberapa hadits mereka (orang-orang Syam- pent) yang dhaif itu,” Ibnu Abi Hatim berkata, “Hafalannya jelek dan hadits dia dari Syam lebih mungkar daripada haditsnya (yang berasal) dari Irak, karena jeleknya hafalan dia.” Al Ajalaiy berkata, “Hadits-hadits yang mereka riwayatkan dari ahli Syam ini tidak membuatku kagum,” demikianlah yang terdapat pada Tahdzibul Kamal (9/427).

Aku katakan: dan Muhammad bin Sulaiaman Syaami, biografinya (disebutkan) pada Tarikh Damasqus (15/q386-tulisan tangan) maka riwayatnya dari Zuhair sebagaiman dinaskhkan oleh para Imam adalah mungkar, dan hadits ini darinya.

Tidak menutup kemungkinan bahwa sebagian hadits-hadits ini memiliki makna- makna yang benar, yang sesuai dengan syari'at kita yang lurus baik dari Al Qur'an maupun Sunnah, akan tetapi (hadits-hadits ini) sendiri tidak boleh kita sandarkan kepada Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam, dan terlebih lagi -segala puji hanya bagi Allah- umat ini telah Allah khususkan dengan sanad dibandingkan dengan umat-umat yang lain. Dengan sanad ini dapat diketahui mana hadits yang dapat diterima dan mana yang harus ditolak, membedakan yang shahih dari yang jelek. Ilmu sanad adalah ilmu yang paling rumit, telah benar dan baik orang yang menamainya (yakni Al Isnad) adalah: “Ucapan yang dinukil dan neraca pembenaran khabar.”

Mudah-mudahan Allah memberi rizki pada kami kebaikannya. Wahai saudaraku yang haus akan ketaatan kepada Allah, inilah sifat puasa Nabi dihadapanmu. Dan inilah petunjuknya dalam puasa Ramadhan, bersegeralah kepada kebaikan.

Wasubhaanakallahu wa bihamdika, asyhadu anlaa ilaha illa anta, astaghfiruka, wa atuubu ilaika.

Sumber : Ikhtisar Shifati Shaumin Nabiyyi SAW Fii Ramadhan

Oleh : Syaikh Salim bin 'Id Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid

Hal-hal yang Perlu Diketahui tentang Ramadhan

Allah mensyari’atkan shaum dan berbagai ibadah Ramadhan sebagai salah satu program yang harus dilewati setiap Muslim dan Mukmin dalam pembentukan karakter taqwa meraka.

Serial Manajemen Ramadhan Rasulullah saw.

Oleh: Fathuddin Ja'far, MA

Hal-Hal Yang Perlu Diketahui Tentang Ramadhan

Sebelum menjalankan ibadah Ramadhan, ada beberaa hal yang perlu dipahami. Di antaranya :

1. Shaum Ramadhan adalah rukun Islam yang keempat. Hukumnya adalah fardhu (wajib) yang datang langsung dari Tuhan Pencipta, Allah Ta’ala.

2. Allah mensyari’atkan shaum dan berbagai ibadah Ramadhan sebagai salah satu program yang harus dilewati setiap Muslim dan Mukmin dalam pembentukan karakter taqwa meraka. (Q.S. Al-Baqoroh : 183).

3. Ancaman keras bagi orang-orang beriman yang tidak melaksanakan ibadah Ramadhan, khususnya ibadah shaum seperti yang dijelaskan Rasul Saw : Ikatan dan basis agama Islam itu ada tiga. Siapa yang meniggalkan salah satu darinya, maka ia telah kafir; halal darahnya : Syahadat Laa ilaaha illallah, sholat fardhu (5 X sehari) dan shaum Ramadhan. (H.R. Abu Ya’la dan Dailami). Dalam hadiits lain Rasul Saw. bersabda : Siapa berbuka satu hari dalam bulan Ramadhan tanpa ada ruhkshah (faktor yang membolehkan berbuka / dispensasi) dari Allah, maka tidak akan tergantikan kendati ia melaksanakan shaum sepanjang masa. (H.R. Abu Daud, Ibnu Majad dan Turmuzi).

4. Ramadhan memiliki aturan main yang perlu ditaati, agar proses dan pelaksanaan ibadahnya, khususnya shaum Ramadhan dapat berjalan dengan baik dan maksimal. Paling tidak ada sembilan hal terkait aturan main yang perlu diketahui sebelum kita melaksanakan ibadah shaum Ramadhan :

4.1. Macam-Macam Shaum

Shaum terbagi menjadi dua macam :
A. Shaum fardhu (wajib).
B. Shaum Tathowwu’ (puasa sunnah).

A. Adapun shaum wajib terbagi tiga :

Pertama, shaum Ramadhan, yakni shaum yang dilaksanakan selama bulan Ramadhan (29 / 30 hari) seperti yang dijelaskan Allah dalam Al-qur’an surat Al-Baqoroh : 183.

Kedua, Shaum Kafarat (Puasa Denda), yakni shaum yang wajib dilakukan sebagai denda dari pelanggaran hukum seperti pelanggaran dalam ibadah haji, membunuh tidak sengaja, melanggar sumpah dan sebagainya.

Ketiga adalah shaum Nazar, yaitu jika seseorang bernazar dengan shaum bagi perkara yang dinazarkannya seperti jika ia sembuh dari penyakit, jika bisnisnya goal dan sebagainya maka ia bernazar untuk shaum. Shaum seperti itu disebut dengan shaum nazar dan wajib hukumnya.

B. Adapun shaum tathowwu’ (Puasa Sunnah) adalah :

1. Shaum 6 hari di bulan Syawal. Dalam hadits Rasul Saw. dijelaskan : Siapa yang shaum Ramadhan kemudian dia teruskan dengan 6 hari di bulan Syawal, seakan ia shaum sepanjang masa (tahun). (H.R. Al-Jama’ah kecuali Bukhari dan Nasa’i)

2. Shaum hari Arofah bagi yang tidak menunaikan ibadah haji. Dalm hadiits dijelaskan : Shaum hari Arofah (9 Zul hijha) menghapuskan dosa dua tahun, setahun sebelum dan setahun sesudahnya… (H.R Al Jama’ah kecuali Bukhari dan Nasa’i).

3. Shaum hari ‘Asyura (10 bulan Muharrom). Dalam hadiits Rasul Saw. dijelaskan : Shaum pada hari ‘Arofah (9 Zulhijjah) menghapus dosa dua tahun; yang lalu dan yang akan datang. Dan shau hari Asyuro (10 Muharram) menghapuskan dosa setahun yang lalu. (HR. Riwayat Al-Jama’ah kecuali Bukhari dan Turmizi). Terkait shaum ‘Asyura, Rasul Saw. menyarankan agar ditambah sehari sebelumnya agar tidak sama dengan Yahudi, karena mereka juga puasa pada hari ‘Asyura.

4. Shaum diperbanyak di bulan Sya’ban. Dari A’isyah radhiyalllu ‘anha dia berkata : Aku tidak melihat Rasul Saw. menyempurnakan shaumnya kecuali di bulan Ramadhan saja, dan aku tidak melihat banyak berpuasa di bulan selain Ramadhan kecuali di bulan Sya’ban. (HR. Bukhari dan Muslim)

5. Shaum Ayyamul bidh (tgl 13, 14 & 15 setiap bulan Hijriyah. Dari Abu Zar radhiyallahu ‘anhu beliau berkata : Kami diperintah Rasul Saw untuk shaum dalam sebulan tiga hari; 13, 14 dan 15. Lalu Rasul berkata : Yang demikian itu sama dengan shaum sepanjang masa. (HR. Nasa’i)

6. Shaum hari Senin dan Kamis. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata : Rasul Saw paling banyak shaum pada hari Senin dan Kamis. Lalu Beliau ditanya kenapa. Beliau menjawab : Sesungguhnya semua amal diangkat (ke langit) setiap hari Senin dan Kamis. Maka Allah akan mengampunkan setiap Muslim atau setiap Mukmin kecuali dua orang yang sedang berbantah, maka Allah berkata : Tangguhkan keduanya. (HR. Ahmad).

7. Shaum Nabi Daud; shaum satu hari dan berbuka hari berikutnya dan begitu seterusnya. Dari Abdullah Bin Umar dia berkata : Berkata Rasul Saw. : Shaum yang paling dicintai Allah adalah shaum Daud, dan shalat (malam) yang paling dicintai Allah adalah shalat Daud; dia tidur setengahnya, berdiri shalat sepertiganya dan kemudian tidur lagi seperenamnya, dia juga shaum satu hari dan berbuka satu hari. (HR. Muslim)

8. Shaum tathowwu’ (sunnah) dibolehkan berbuka, khususnya jika ada penyebabnya seperti diundang makan. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata : Saya menyiapkan makanan untuk Rasul Saw. maka Beliau datang dengan beberapa Sahabatnya. Ketika makanan dihidangkan salah seorang di antara mereka berkata : Sesungguhnya saya sedang shaum. Lalu Rasul berkata : Saudaramu telah mengundangmu dan telah bersusah payah untukmu. Kemudian Beliau bersabda : Berbukalah dan shaumlah di hari lain sebagai gantinya jika kamu mau. (HR. Baihaqi).


4.2. Hukum Shaum Ramadhan

Shaum Ramadhan hukumnya wajib atas setiap Muslim dan Muslimah yang sehat akalnya (tidak gila) dan telah mukallaf (umur remaja), tidak dalam keadaan musafir dan sakit. Khusus bagi wanita, tidak dalam keadaan haidh dan nifas. Tentang wajibnya shaum, Allah menjelaskannya dalam surat Al-baqoroh : 183 : Wahai orang-orang beriman, diwajibkan atasmu sekalian shaum itu (shaum Ramadhan) sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, semoga kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa. Dalam sebuah hadits dijelaskan, Rasul Saw. bersabda : Sesungguhnya Islam itu dibangun di atas lima (dasar). Kesaksian bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad itu adalah utusan-Nya, menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan shaum Ramadhan dan menunaikan haji. (HR. Muslim)

Oleh sebab itu, Rasulullah Saw. mewanti wanti umatnya agar sekali-kali jangan meninggalkan shaum Ramadhan tanpa alasan yang dibolehkan. Dalam salah satu haditsnya, Rasul Saw. bersabda : Ikatan dan kaedah agama Islam itu ada tiga. Diatasnya dibangun Islam. Siapa meninggalkan salah satu darinya maka ia kafir, halal darahnya (karena sudah dihukumkan kepada orang murtad), syahadat La ilaaha illallah, sholat yang difardhukan dan shaum Ramadhan. (H.R Abu Ya’la dan Dailami)

4.3. Rukun Shaum

Setiap ibadah dalam Islam ada rukunnya agar ibadah itu bisa tegak dan berjalan dengan benar. Demikian juga dengan shaum Ramadhan. Rukunnya ada dua :
1. Niat. Niat adalah faktor pertama yang akan menentukan sah atau tidaknya ibadah seseorang seperti yang dijelaskan Rasul Saw. Sesungguhnya (sahnya) setiap amal itu tergantung adanya niat (bagi setiap amal tersebut). Dan sesungguhnya setiap orang (akan memperoleh) sesuai apa yang diniatkannya. Siapa yang berhijrah karena kepentingan dunia yang akan dia peroleh atau wanita yang akan dinikahinya, maka dia akan memperoleh apa yang diniatkannya. (HR. Islam). Setiap amal ibadah, baik wajib maupun yang sunnah akan bernilai di mata Allah jika didasari dengan niat. Niatnya harus hanya karena Allah, tidak melenceng sedikitpun. Kemudian itu letaknya dalam hati, bukan dilafazkan (diucapkan dengan lisan), termasuk niat shaum Ramadhan harus dilakukan dalam hati. Waktunya sebelum terbit fajar.

2. Menahan diri dari hal-hal yang membantalkan shaum sejak terbit fajar sampai mata hari tenggelam. (QS. Al-Baqoroh : 187).


4.4. Hal-Hal Yang membatalkan Shaum

Semua ibadah dalam Islam memerlukan syarat dan rukun agar ibadah tersebut sah dan bernilai di sisi Allah. Amal ibadah yang sudah sesuai syarat dan rukun tersebut bisa batal jika melanggar aturan mainnya atau terjadi hal-hal yang membatalkannya. Adapun yang membatalkan shaum terbagi dua. Pertama hal-hal yang membatalkan shaum dan wajib diqadha (diganti di hari-hari setelah Ramadhan). Kedua adalah yang membatalkan shaum dan wajib qadha dan kafarat (denda).

Adapun yang membatalkan shaum dan wajib qadha saja ialah:
1. Makan dan minun dengan sengaja. Rasul Saw. bersabda : Siapa yang berbuka (makan dan minum) di siang hari bulan Ramadhan karena lupa maka tidak perlu diqadha (diganti pada hari di luar Ramadhan), dan tidak pula kafarat (denda). (HR. Daru Quthni, Baihaqi dan Hakim).

2. Muntah dengan sengaja. Rasul Saw. berkata : Siapa yang terpaksa muntah maka tidak wajib baginya mengqadha (shaumnya). Namun siapa muntah dengan sengaja, maka hendaklah ia mengqadha (shaumnya). (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmizi)

3. Haidh/menstruasi dan nifas (melahirkan), kendati terjadi sesaat sebelum berbuka. Ini yang disepakati oleh jumhur Ulama

4. Mengeluakan sperma dengan sengaja baik dengan cara onani/masturbasi ataupun dengan berbuat mesum dengan istri.

5. Memakan apa saja yang bukan yang lazim di makan, seperti plastik dan sebagainya.

6. Yang berniat membatalkan shaumnya di siang hari. Dengan demikian dia sudah batal shaumnya kendati dia tidak makan atau minum.

7. Jika dia makan, minum atau bercampur suami istri menduga waktu berbuka sudah masuk. Ternyata belum masuk. Dia wajib mengqadhanya.

Adapun yang membatalkan shaum dan harus diqadha dan kafarat menurut jumhur Ulama adalah berhubungan suami istri dengan sengaja. Tidak ada perbedaan antara suami dan istri, keduanya harus menjalankannya. Adapun kafarat bagi yang berhubungan suami istri ialah memerdekakan budak. Jika tidak sanggup, shaum 2 bulan berturut-turut. Jika tidak mampu memberi makan fakir miskin sebanyak 60 orang, seperti yang dijelaskan dalam salah satu hadits Rasul Saw. yang diriwayatkan imam Bukhari.

4.5. Adab Melaksanakan Shaum

Sebagaimana semua ajaran Islam itu ada adab atau kode etiknya, maka shaum juga ada adabnya. Di antaranya :

1. Sahur (Makan Sahur). Bersabda Rasul Saw. : Bersahurlah kamu sekalian karena sahur itu ada berkahnya. (HR. Bukhari dan Muslim). Waktu sahur itu dari pertengahan malam sampai terbit fajar (saat waktu shalat subuh masuk). Tetapi diperlambat sampai mendekati terbit fajar lebihdianjurkan.

2. Menyegerakan berbuka, yakni setelah tau waktu maghrib / tenggelam matahari maka segeralah berbuka. Bersabda Rasul Saw. : Manusia senantiasa dalam keadaan baik selama mereka menyegerakan berbuka. (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Berdoa waktu berbuka dan sepanjang melaksanakan shaum. Dari Abdullah Bin Amr Bin Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Saw. berkata : Sesungguhnya bagi orang yang sedang shaum saat berbuka doanya tidak ditolak. (HR. Ibnu Majah) Dalam hadits lain Rasul bersabda : Ada tiga do’a yang tidak akan ditolak Allah; orang yang shaum sampai dia berbuka, imam (pemimpin) yang adil dan oang yang tezhalimi (teraniaya). (HR. Tirmizi).

Adapun doa saat berbuka ialah :

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

Telah hilang haus dan telah basah tenggorokan dan telah tetap pahala insyaa Allah. (HR. Tirmizi)

4. Menahan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan shaum (menahan diri dari berbagai dorongan syahwat yang halal dan yang haram), karena shaum adalah salah satu cara taqarrub pada Allah yang amat mahal. Sebab itu tidak sepantasnya shaum itu hanya sekedar menahan lapar dan haus saja, akan tetapi menahan semua apa saja yang akan mencederai nilai-nilai mulia yang ada dalam shaum. (Dalam sub tema : Kunci Sukses Training Manajemen Syahwat Ramadhan akan dijelaskan secara rinci)

5. Bersiwak dengan kayu arak atau benda lain yang menyucikan mulut seperti sikat gigi.

6. Berjiwa dermawan dan mempelajari Al-Qur’an. Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dia berkata : Adalah Rasul Saw. orang yang paling dermawan. Namun, di bulan Ramadhan lebih dermawan lagi ketika bertemu Jibril. Beliu liqo (bertemu) Jibril setiap malam dari bulan Ramadhan, maka Beliau belajar Al-Qur’an dari Jibril. Maka Rasul Saw. dalam kedermawanannya lebih cepat dari angin kencang. (HR. Bukhari)

7. Bersungguh-Sungguh Beribadah Pada 10 Hari Terakhir Ramadhan. Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata bahwa Nabi Saw. apabila masuk 10 hari terakhir Ramadhan Beliau menghidupkan sepanjang malam (dengan ibadah), membangunkan keluarganya dan mengencangkan ikat pinggangnya. (HR. Bukhari)

4.6. Siapa Saja yang Dapat Dispensasi Berbuka, Tapi Wajib Membayar
Fidyah (Denda)?

Kendati shaum itu wajib bagi setiap Muslim dan Muslimah yang berakal dan sudah baligh (remaja), tetapi Allah memberikan keringanan kepada orang-orang yang termasuk ke dalam kategori berikut :

a. Orang-orang yang sudah tua Bangka.
b. Orang-orang sakit yang kecil kemungkinan dapat sembuh.
c. Para pekerja keras di pelabuhan, bangunan dan sebagainya yang tidak punya sumber kehidupan lain selain pekerjaan tersebut. Syaratnya ialah jika mereka shaum mereka akan mengalami kesulitan atau beban fisik yang sangat kuat sehingga menyulitkan mereka melaksankan pekerjaan. Namun bagi yang kuat, maka shaum lebih baik.

Ketiga golongan / kategori tersebut mendapatkan dispensasi untuk tidak shaum di bulan Ramadhan. Akan tetapi, mereka wajib membayar fidyah (denda) sebanyak satu liter makanan / beras untuk setiap hari shaum yang ditinggalkan. Makanan / beras tersebut diberikan kepada orang-orang miskin yang ada di lingkungan tempat tinggal mereka.


d. Terkait wanita hamil dan menyusui, menurut imam Ahmad dan Syafi’i, jika mereka shaum itu berefek buruk terhadap janin dan anak mereka saja, maka mereka dapat dispensasi tidak shaum, tapi mereka harus mengqadha’nya serta membayar fidyah. Namun, jika shaum itu hanya berimplikasi negative terhadap diri mereka saja atau terhadap anak mereka saja, maka mereka hanya wajib mengqadha’nya. Satu hal yang perlu dicatat ialah bahwa pengaruh negative tersebut haruslah berdasarkan pendapat ahli kesehatan yang amanah secara keilmuan dan ketaqwaannya.


4.7. Siapa Saja Yang Dapat Dispensasi Berbuka, Tapi Wajib Qadha’ (menggantinya di hari lain)?

Adapun golongan yang mendapat dispensasi shaum akan tetapi mereka harus membayar / mengqadha’ pada hari yang lain di luar bulan Ramadhan ialah orang yang sakit dan tidak kuat untuk menunaikan shaum dan juga yang sedang musafir/ perjalanan untuk berperang di jalan Allah, berdagang dan berbagai keperluan lain yang bersifat primer, bukan sekunder seperti perjalanan wisata dan sebagainya. Dalam sebuah hadits dijelaskan : Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata : Dulu kami berperang bersama Rasul Saw di bulan Ramadhan. Di antara kami ada yang shaum dan ada yang berbuka. Bagi yang shaum tidak mempengaruhi yang berbuka dan bagi yang berbuka tidak mempengaruhi yang shaum. Kemudian bagi yang melihat dirinya kuat menjalankan shaum dia lakuakn dan itulah yang terbaik baginya dan bagi yang merasa dirinya lemah, maka ia berbuka, itulah yang terbaik baginya. (HR. Ahamd dan Muslim)

4.8. Siapa Saja yang Wajib Berbuka dan Wajib Qadha’ atasnya?

Di samping dua kondisi di atas ada lagi kondisi lain terkait shaum Ramadhan, yakni orang-orang yang wajib berbuka dan wajib qadha’. Mereka adalah wanita Muslimah yang sedang menstruasi / haidh dan melahirkan. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata : Kami saat haidh di masa Rasul Saw diperintahkan untuk mengqadha’ shaum dan tidak diperintahkan mengqadha; shalat. (HR. Bukhari dan Muslim)

4.9. Hari-Hari Yang Dilarang Shaum Ramadahan adalah waktu termahal dalam hidup kita yang datang setiap tahun tanpa diundang.

Kendati shaum itu adalah ibadah yang disyari’atkan Allah di bulan Ramadhan dan di hari-hari lain di luar Ramadhan seperti yang dijelaskan pada pembahasan Shaum Tathowwu’ (Shaum Sunnah) dan sudah terbukti shaum itu memiliki keistimewaan dan efek positif dalam segala sisi kehidupan kita. Namun demikian, sesuai aturan main Allah, terdapat hari-hari dan kondisi yang dilarang (diharamkan) shaum, seperti :

a. Diharamkan shaum pada dua hari raya, yaitu Idul Fitri (tanggal satu Syawal) dan Idul Adha ( tanggal 10 Zulhijjah). Terkait dengan haramnya shaum pada kedua hari raya tersebut seharusnya membuat kita sangat berhati-hati dan tidak menyepelekannya. Aneh tapi nyata,di Indonesia ini selalu terjadi perbedaan penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Namun ada yang lebih ajaib lagi ialah pendapat yang mengatakan bahwa untuk menjaga kesatuan umat yang hukumnya wajib lebih penting dari sholat idul fitri dan idul Adha yang hukumnya sunnah. Sebab itu, boleh sholat Idnya pada hari berikutnya demi menjaga persatuan umat. Ini jelas-jelas pendapat yang ngawur, lemah dan tidak beralasan disebabkan :

1. Terkait dengan Idul Fitri dan Idul Adha terdapat dua hukum yang berbeda. Pertama, haram/larangan ibadah shaum pada kedua hari raya tersebut menurut Rasulullah Saw. seperti tercantum dalam hadits riwayat Ahmad : Dari Umar Ibnul Khattab dia berkata: Sesungguhnya Rasul Saw. melarang shaum pada dua hari ini (Idul Fitri dan Idul Adha). Adapun hari Fitri yaitu hari berbukanya kamu dari shaummu. Adapun hari Adha maka makanlah (pada hari itu) sebagian daging kurbanmu. (H.R. Ahmad). Kedua, adalah melaksanakan ibadah sholat Idul Fitri dan Idul Adha serta semua ibadah yang lain harus sesuai sunnah /contoh/ perintah Rasul Saw. Dalil Al-Qur’an dan Sunnah sangat banyak menjelaskan hal tersebut.

Dua hal yang berbeda, yang satu haram beribadah shaum dan yang satu lagi tuntutan melaksanakan ibadah shalat id, namun pada hari yang sama dan tidak dapat dipisahkan, kecuali dengan dalil yang diperbolehkan Rasul Saw. seperti tidak mengetahui jatuhnya tanggal satu syawal atau 10 Zulhijjah. Sebab itu, tidak ada kaitan keduanya dengan keharusan menjaga kesatuan umat.

2. Bagi yang mengetahui jatuhnya satu syawal dan 10 Zulhijjah, namun dia tetap shaum maka ia berdosa besar karena melanggar hukum/ketentuan Allah dan RasulNya. Berarti dia melakukan maksiat pada Allah dan RasulNya. Demikian juga bagi yang megetahui jatuhnya satu syawal atau 10 Zulhijjah, namun dia melaksanakan sholat Idnya pada tanggal / hari berikutnya, tanpa dalil syar’i, maka dia melakukan dosa dan bid’ah, alias melaksanakan ibadah keluar dari sunnah Rasul Saw.

3. Kendati kedua sholah Id tersebut secara fiqih hukumnya sunnah, bukan berarti kita bisa melakukan semau kita dan berdasarkan akal-akalan kita. Semua ibadah baik fardhu maupun yang sunnah wajib dilaksanakan didasari ikhlas ta’abbudiyah (ikhlas beribadah kepada Alllah). Untuk mencapai ikhlas ta’abbudiyah tersebut mengharuskan kita untuk melaksanakannya sesuai aturan main yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, baik tata caranya maupun waktunya. Waktu sholat Idul Fitri adalah tanggal satu Syawal dan Idul Adha adalah tanggal 10 Zulhijjah setelah hari ‘Arofah, kecuali jika kita tidak tahu. Kalau dilakukan dengan cara atau hari yang tidak sesuai dengan yang telah dicontohkan Rasul Saw. berarti kita melakukan bid’ah dalam perkara ini. Hukumnnya jelas setiap bid’ah itu adalah kesesatan.

4. Kalimat menjaga kesatuan umat itu adalah akal-akalan yang tidak didukung dalil dan fakta yang kuat. Bersatu di atas pelanggaran hukum/aturan main Allah dan Sunnah Rasul Saw. baik fardhu maupun sunnah adalah maksiat dan kemungkaran besar. Toleransi pada ibadah Sunnah itu terletak pada melaksanakannya atau tidak, bukan pada niat atau tata caranya. Ibadah sunnah memang tidak mutlak harus dilaksanakan, sebagai ibadah tambahan taqarrub ilallah yang akan menambah kekuatan eksistensinya di mata Allah sebagai hamba yang taat, mencintai dan bersyukur pada Allah. Namun demikian, bukan berarti boleh dilaksanakan sesuai keinginan dan situasi yang kita inginkan.

5. Allah menyuruh kaum Muslimin menjaga kesatuan itu harus didasari berpegang teguh pada Allah dan agama-Nya, bukan akal dan pikiran kita yang picik dan mengada-ada, apalagi jika ada udang di balik batunya, seperti yang Allah jelaskan dalam surat Ali Imran : 103, Annisa’ : 146 & 175 dan Al-Haj : 78. Jika kesatuan umat ini dibangun di atas dasar pelanggaran agama Allah, maka kesatuan tersebut berarti kesatuan di atas dasar kesesatan dan murka Allah. Lalu, apa bedanya dengan orang-orang kafir yang bersatu di atas dasar agama/aturan main/ hidup yang tidak diridhai Allah? Apakah dengan kesatuan tersebut Allah merahmati mereka dan memasukkan mereka ke dalam syurga-Nya. Tentu jawabannya sebaliknya. Allah tetap murka pada mereka di dunia dan terlebih lagi di akhirat, kecuali jika mereka kembali kepada agama Allah saat mereka hidup di dunia ini dengan ikhlas dan maksimal.

b. Pada Hari-Hari Tasyriq, yakni tanggal 11- 13 Zulhijjah. Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasul Saw. mengutus Abdullah Bin Huzafah berkeliling di Mina sambil berrkata : Jangan kalian shaum pada hari-hari ini (11 – 13 Zulhijjah), karena sesungguhnya ini adalah hari-hari kalian makan, minum dan zikrullah ‘Azaa Wajallah. (HR. Ahmad).

c. Shaum pada hari Jumat saja. Dari Abdullah Bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasul Saw. berkunjung ke Juwairiyah Binti Harits yang sedang shaum pada hari Jumat itu. Lalu Rasul Saw. bertanya padanya : Apakah kamu shaum kemarin? Dia menjawab : Tidak. Rasul Saw. beratanya lagi : Apakah kamu berniat shaum besok? Dia menjawab : Tidak. Lalu Rasul bersabda : Maka berbukalah (batalkanlah) shaummu. (HR. Ahmad dan Nasa’i).

d. Mengkhususkan shaum pada hari Sabtu. Rasul Saw. bersabda : Janganlah kalian shaum pada hari Sabtu, kecuali memang hari itu bertepatan dengan Shaum wajib (Shaum Ramadhan, nazar dan tanggal yang disunahkan shaum seperti Arofah dan sebagainya). Jika kalian tidak punya makanan kecuali kulit anggur atau daun kayu maka kunyah/makanlah. (HR. Ahmad)

e. Pada hari syak (ragu) juga diharamkan shaum. Hari Syak ialah hari di mana kita ragu apakah sudah masuk awal Ramadhan atau belum. Larangan tersebut erat kaitannya dengan keharusan untuk komitmen dengan aturan main ibadah yang telah ditetapkan Allah, ternasuk shaum Ramadhan. Rasulullah meminta kita untuk mengetahui secara pasti awal Ramadhan. Jika ragu apakah awal Ramadhan sudah masuk atau belum, Rasul Saw. melarang kita shaum pada hari tersebut. Demikian juga halnya dengan larangan shaum pada hari raya Idul Fitr dan Idul Adha.

Dalam sebuah hadits Rasul Saw. bersabda : Siapa yang shaum pada hari syak, maka dia telah durhaka pada Abul Qashim (Muhammad Saw). Dalam hadits lain Rasul Saw. bersabda : Jangan kalian mendahulukan shaum Ramadhan satu atau dua hari sebelumnya kecuali jika ada yang mengharuskan kamu shaum (seperti shaum nazar dan sebagainya). (HR. Al-Jama’ah). Imam Tirmizi berpendapat dilarang seseorang shaum Ramadhan sebelum masuk waktunya, karena namanya saja shaum Ramadhan, maka harus terikat dengan nama bulannya, yakni di bulan Ramadhan.

f. Diharamkan shaum sunnah bagi wanita yang suaminya ada di rumah kecuali atas izin suaminya. Janganlah wanita shaum satu hari pun sedangkan suaminya berada di rumah kecuali atas izinnya dan (kecuali) shaum Ramadhan. (HR. Bukhari dan Muslim)

g. Dilarang shaum wishal (terus menerus). Dalam sebuah hadits Rasul Saw. bersabda : Sekali-kali jangan kamu melakukan shaum wishal. Beliau katakan sampai tiga kali. Lalu mereka (Sahabat) berkata : Bukankah engkau melakukannnya wahai Rasulullah? Beliau menjawab : Kamu sekalian bukanlah seperti aku dalam hal tersebut. Aku tidak ingin (tidak mungkin) Rabb (Tuhan Pencipta)-ku tidak memberi makan dan minum padaku. Maka kerjakan amal ibadah sesuai kemampuan kalian. (HR. Bukhari dan Muslim). Jika di antara kita hendak mendekatkan dirinya pada Allah secara intensif melalui ibadah shaum sebanyak-banyaknya sepanjang tahun, lakukanlah shaum Daud seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya pada pembahasan Shaum Tathowwu’ (Sunnah).

Kamis, 06 Agustus 2009

Hukum Nisfu Sya'ban

Assalamu'alaikum Wr.Wb.

Ustadz YTH,

Apakah sebenarnya yang dimaksudkan dengan Nisfu Sya'ban ? Adakah Sirah yang melatar-belakangi istilah ini dan apakah amalan yang dilakukan Rasulullah SAW dalam menyambutnya ?

Terima kasih, Jazakumullah......

Wassalamu'alaikum Wr.Wb.

Ashriyati Ishak


Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Ashriyati yang dimuliakan Allah

Nisfu Sya’ban berarti pertengahan bulan sya’ban. Adapun didalam sejarah kaum muslimin ada yang berpendapat bahwa pada saat itu terjadi pemindahan kiblat kaum muslimin dari baitul maqdis kearah masjidil haram, seperti yang diungkapkan Al Qurthubi didalam menafsirkan firman Allah swt :

سَيَقُولُ السُّفَهَاء مِنَ النَّاسِ مَا وَلاَّهُمْ عَن قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُواْ عَلَيْهَا قُل لِّلّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَن يَشَاء إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ


Artinya : “Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka Telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus". (QS. Al Baqoroh : 142)

Al Qurthubi mengatakan bahwa telah terjadi perbedaan waktu tentang pemindahan kiblat setelah kedatangannya saw ke Madinah. Ada yang mengatakan bahwa pemindahan itu terjadi setelah 16 atau 17 bulan, sebagaimana disebutkan didalam (shahih) Bukhori. Sedangkan Daruquthni meriwayatkan dari al Barro yang mengatakan,”Kami melaksanakan shalat bersama Rasulullah saw setelah kedatangannya ke Madinah selama 16 bulan menghadap Baitul Maqdis, lalu Allah swt mengetahui keinginan nabi-Nya, maka turunlah firman-Nya,”Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit.”. Didalam riwayat ini disebutkan 16 bulan, tanpa ada keraguan tentangnya.

Imam Malik meriwayatkan dari Yahya bin Said dari Said bin al Musayyib bahwa pemindahan itu terjadi dua bulan sebelum peperangan badar. Ibrahim bin Ishaq mengatakan bahwa itu terjadi di bulan Rajab tahun ke-2 H.

Abu Hatim al Bistiy mengatakan bahwa kaum muslimin melaksanakan shalat menghadap Baitul Maqdis selama 17 bulan 3 hari. Kedatangan Rasul saw ke Madinah adalah pada hari senin, di malam ke 12 dari bulan Rabi’ul Awal. Lalu Allah swt memerintahkannya untuk menghadap ke arah ka’bah pada hari selasa di pertengahan bulan sya’ban. (Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an jilid I hal 554)

Kemudian apakah Nabi saw melakukan ibadah-ibadah tertentu didalam malam nisfu sya’ban ? terdapat riwayat bahwa Rasulullah saw banyak melakukan puasa didalam bulan sya’ban, seperti yang diriwayatkan oleh Bukhori Muslim dari Aisyah berkata,”Tidaklah aku melihat Rasulullah saw menyempurnakan puasa satu bulan kecuali bulan Ramadhan. Dan aku menyaksikan bulan yang paling banyak beliau saw berpuasa (selain ramadhan, pen) adalah sya’ban. Beliau saw berpuasa (selama) bulan sya’ban kecuali hanya sedikit (hari saja yang beliau tidak berpuasa, pen).”

Adapun shalat malam maka sessungguhnya Rasulullah saw banyak melakukannya pada setiap bulan. Shalat malamnya pada pertengahan bulan sama dengan shalat malamnya pada malam-malam lainnya. Hal ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah didalam Sunannya dengan sanad yang lemah,”Apabila malam nisfu sya’ban maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah di siang harinya.

Sesungguhnya Allah swt turun hingga langit dunia pada saat tenggelam matahari dan mengatakan,”Ketahuilah wahai orang yang memohon ampunan maka Aku telah mengampuninya. Ketahuilah wahai orang yang meminta rezeki Aku berikan rezeki, ketahuilah wahai orang yang sedang terkena musibah maka Aku selamatkan, ketahuilah ini ketahuilah itu hingga terbit fajar.”

Syeikh ‘Athiyah Saqar mengatakan,”Walaupun hadits-hadits itu lemah namun bisa dipakai dalam hal keutamaan amal.” Itu semua dilakukan dengan sendiri-sendiri dan tidak dilakukan secara berjama’ah (bersama-sama).

Al Qasthalani menyebutkan didalam kitabnya “al Mawahib Liddiniyah” juz II hal 259 bahwa para tabi’in dari ahli Syam, seperti Khalid bin Ma’dan dan Makhul bersungguh-sungguh dengan ibadah pada malam nisfu sya’ban. Manusia kemudian mengikuti mereka dalam mengagungkan malam itu. Disebutkan pula bahwa yang sampai kepada mereka adalah berita-berita israiliyat. Tatkala hal ini tersebar maka terjadilah perselisihan di masyarakat dan diantara mereka ada yang menerimanya.

Ada juga para ulama yang mengingkari, yaitu para ulama dari Hijaz, seperti Atho’, Ibnu Abi Malikah serta para fuqoha Ahli Madinah sebagaimana dinukil dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, ini adalah pendapat para ulama Maliki dan yang lainnya, mereka mengatakan bahwa hal itu adalah bid’ah.

Kemudian al Qasthalani mengatakan bahwa para ulama Syam telah berselisih tentang menghidupkan malam itu kedalam dua pendapat. Pertama : Dianjurkan untuk menghidupkan malam itu dengan berjama’ah di masjid. Khalid bin Ma’dan, Luqman bin ‘Amir dan yang lainnya mengenakan pakaian terbaiknya, menggunakan wangi-wangian dan menghidupkan malamnya di masjid. Hal ini disetujui oleh Ishaq bin Rohawaih. Dia mengatakan bahwa menghidupkan malam itu di masjid dengan cara berjama’ah tidaklah bid’ah, dinukil dari Harab al Karmaniy didalam kitab Masa’ilnya. Kedua : Dimakruhkan berkumpul di masjid untuk melaksanakan shalat, berdoa akan tetapi tidak dimakruhkan apabila seseorang melaksanakan shalat sendirian, ini adalah pendapat al Auza’i seorang imam dan orang faqih dari Ahli Syam.

Tidak diketahui pendapat Imam Ahmad tentang malam nisfu sya’ban ini, terdapat dua riwayat darinya tentang anjuran melakukan shalat pada malam itu. Dua riwayat itu adalah tentang melakukan shalat di dua malam hari raya. Satu riwayat tidak menganjurkan untuk melakukannya dengan berjama’ah. Hal itu dikarenakan tidaklah berasal dari Nabi saw maupun para sahabatnya. Dan satu riwayat yang menganjurkannya berdasarkan perbuatan Abdurrahman bin Zaid al Aswad dan dia dari kalangan tabi’in.

Demikian pula didalam melakukan shalat dimalam nisfu sya’ban tidaklah sedikit pun berasal dari Nabi saw maupun para sahabatnya. Perbuatan ini berasal dari sekelompok tabi’in khususnya para fuqaha Ahli Syam. (Fatawa al Azhar juz X hal 31)

Sementara itu al Hafizh ibnu Rajab mengatakan bahwa perkataan ini adalah aneh dan lemah karena segala sesuatu yang tidak berasal dari dalil-dalil syar’i yang menyatakan bahwa hal itu disyariatkan maka tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk menceritakannya didalam agama Allah baik dilakukan sendirian maupun berjama’ah, sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan berdasarkan keumuman sabda Rasulullah saw,”Barangsiapa yang mengamalkan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia tertolak.” Juga dalil-dalil lain yang menunjukkan pelarangan bid’ah dan meminta agar waspada terhadapnya.

Didalam kitab “al Mausu’ah al Fiqhiyah” juz II hal 254 disebutkan bahwa jumhur ulama memakruhkan berkumpul untuk menghidupkan malam nisfu sya’ban, ini adalah pendapat para ulama Hanafi dan Maliki. Dan mereka menegaskan bahwa berkumpul untuk itu adalah sautu perbuatan bid’ah menurut para imam yang melarangnya, yaitu ‘Atho bin Abi Robah dan Ibnu Malikah.

Sementara itu al Auza’i berpendapat berkumpul di masjid-masjid untuk melaksanakan shalat (menghidupkan malam nisfu sya’ban, pen) adalah makruh karena menghidupkan malam itu tidaklah berasal dari Rasul saw dan tidak juga dilakukan oleh seorang pun dari sahabatnya.

Sementara itu Khalid bin Ma’dan dan Luqman bin ‘Amir serta Ishaq bin Rohawaih menganjurkan untuk menghidupkan malam itu dengan berjama’ah.”

Dengan demikian diperbolehkan bagi seorang muslim untuk menghidupkan malam nisfu sya’ban dengan berbagai bentuk ibadah seperti shalat, berdzikir maupun berdoa kepada Allah swt yang dilakukan secara sendiri-sendiri. Adapun apabila hal itu dilakukan dengan brjama’ah maka telah terjadi perselisihan dikalangan para ulama seperti penjelasan diatas.

Hendaklah ketika seseorang menghidupkan malam nisfu sya’ban dengan ibadah-ibadah diatas tetap semata-mata karena Allah dan tidak melakukannya dengan cara-cara yang tidak diperintahkan oleh Rasul-Nya saw. Janganlah seseorang melakukan shalat dimalam itu dengan niat panjang umur, bertambah rezeki dan yang lainnya karena hal ini tidak ada dasarnya akan tetapi niatkanlah semata-mata karena Allah dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Begitu pula dengan dzikir-dzikir dan doa-doa yang dipanjatkan hendaklah tidak bertentangan dengan dalil-dalil shahih didalam aqidah dan hukum.

Dan hendaklah setiap muslim menyikapi permasalahan ini dengan bijak tanpa harus menentang atau bahkan menyalahkan pendapat yang lainnya karena bagaimanapun permasalahan ini masih diperselisihkan oleh para ulama meskipun hanya dilakukan oleh para tabi’in.

Wallahu A’lam

Mimpi Buruk Amerika di Afghanistan (2) Taliban Yang Dekat dan Melindungi Rakyat


Setelah Soviets mundur dari Afghanistan dan pemerintah boneka Kremlin di Kabul jatuh, Omar dan Baradar tinggal di Maiwand. Di sana mereka membangun madrasah. Di tempat ini pula mereka mulai memerangi para pemilik tanah yang semena-mena dan terkenal menculik dan memerkosa anak-anak, baik perempuan ataupun laki-laki. Omar mendeklarsikan peperangan terhadap penguasa tanah ini, dan Baradar menjadi orang pertama yang mendukung gerakannya ini.

Cara ini ternyata efektif dalam menarik hati rakyat Afghanistan. Baradar dalam sekejap telah menjadi komandan kedua Mullah Omar di Kandahar. Ia menjadi komandan militer penting dan sangat dipercaya oleh Omar. Ketika AS pertama kali menyerang Kandahar pada November 2001, Baradar lah yang pertama kali menyelamatkan Omar.

Baradar tak punya kantor ataupun rumah yang tetap. Ia bekerja selama 18 jam sehari, dan hampir jarang tidur dua kali di tempat yang sama. Dia menggalang kekuatan dengan para komandan senior Taliban. Ia berpergian dengan tenang, bahkan hanya dengan sebuah mobil kecil. Dari satu perjalanan ke perjalanan lain, di situlah Baradar menyusun strategi dan mengatur semua komandan Taliban.

Baradar adalah seorang Pashtun sejati. Dia duduk dan berbicara tidak hanya dengan para komandannya yang sudah senior, tapi juga dengan anak buahnya dan semua orang yang ia temui. Ketika ia bertemu dengan penduduk sipil, ia sangat santun. Banyak yang mengatakan, Baradar adalah orang pertama yang memikirkan kesulitan hidup rakyat Afghanistan.

Semua komandan Taliban mempunyai kesetiaan luar biasa terhadap Baradar, sepanjang yang diperjuangkan oleh mereka adalah kebenaran. Anak buah Baradar selalu meluruskan perilaku-perilaku oknum yang mengaku Taliban—misalnya mencuri dan menculik. Mereka bahkan berada di garis depan yang pertama kali memerangi opium di negeri mereka. Bagaimana tidak, sekarang ini Afghanistan telah menjadi salah satu negara yang menghasilkan opium atau narkoba terbesar di dunia.

Baradar hanya muncul ke permukaan manakala ada sebuah isyu lokal yang perlu pernyataan atau klarifikasi. Seperti misalnya di provinsi Zabul awal tahun ini ketika terjadi perdebatan panas di antara komandannya dalam hal memerangi pasukan asing. Komandan yang berebutan wilayah atau pernikahan yang tidak berasal dari satu suku, juga selalu saja melibatkan Baradar.

Komandan Zabul yang belum pernah bertemu dengan Baradar memberikan kesaksian. Ketika ia menemuinya di Quetta, mereka berbincang selama dua jam, “Dia mendengarkan semua keluhan saya dan juga masukan dari saya. Ia bertanya, dan ia akan segera mengambil tindakan.” Papar komandan Zabul tersebut. Hasilnya, konflik internal itu sudah bisa diselesaikan hanya dalam waktu dua pekan.

Baradar menegaskan bahwa strateginya adalah hanya mengganggu konsentrasi AS dan Nato terpecah. Mereka diberi perintah hanya mengambil bahan persediaan AS dan Nato. Tahun ini, hanya karena dirasanya AS sudah kelewat batas, Baradar akhirnya memeritahkan anak buahnya untuk juga membalas menyerang. Dilaporkan sebanyak 120 orang militer AS tewas dalam tujuh bulan saja di tahun 2009, bandingkan dengan tahun 2008 yang secara keseluruhan hanya 155 tentara asing yang tewas. BERSAMBUNG (sa/bbc)