Kamis, 23 Juli 2009

Allah-made Versus Man-made Way Of Life


Ketika Rub’iy bin Amer radhiyallahu ’anhu bernegosiasi dengan Panglima Angkatan Bersenjata Persia bernama Rustum, beliau menyampaikan tiga pesan yang menjadi ucapan legendaris dalam sejarah Islam. Point ketiga dari pesan beliau berbunyi sebagai berikut:

إن الله ابتعثنا لنخرج العباد من جور الأديان إلى عدل الإسلام

”Sesungguhnya Allah mengutus kami (ummat Islam) untuk mengeluarkan hamba-hamba Allah (ummat manusia) dari kezaliman berbagai dien menuju keadilan Al-Islam.”

Kata dien seringkali diterjemahkan dengan istilah agama. Padahal dien merupakan suatu istilah yang bermakna jauh lebih luas daripada sekadar agama. Sebab agama pada galibnya diasosiasikan dengan agama Yahudi, Nasrani, Hindu, Budha dan lain sebagainya yang semuanya hanya terbatas pada sistem religi atau sistem keyakinan. Sedangkan kata dien berarti sistem hidup atau way of life dimana sistem religi hanya merupakan salah satu bagian daripadanya. Contoh way of life ialah Komunisme, Kapitalisme, Liberalisme, Sosialisme, Nasionalisme, Demokrasi, Theokrasi dan tentu saja Islam termasuk di dalamnya.

Perbedaannya ialah bahwa berbagai dien selain Al-Islam merupakan dien buatan manusia atau man-made way of lives. Sementara Islam merupakan satu-satunya dien ciptaan Allah sehingga ia disebut Dienullah (Allah-made way of life). Seluruh dien buatan manusia atau man-made way of lives pasti mengandung ketidaksempurnaan. Sebab ia dibuat oleh manusia yang tidak luput dari khilaf dan kesalahan. Sedangkan Islam merupakan dien yang sempurna karena diciptakan oleh Allah Yang Maha Sempurna. Segenap dien buatan manusia sedikit banyak pasti mengandung kezaliman, sedangkan dienullah Al-Islam merupakan satu-satunya dien yang akan mengantarkan manusia ke dalam hidup penuh keadilan.

Mengapa segenap dien selain Islam pasti melahirkan kezaliman? Karena segenap dien tersebut dibuat oleh manusia yang Allah sendiri gambarkan sebagai makhluk yang zalim lagi bodoh. Manusia dikatakan zalim dan bodoh karena bersedia menerima amanah berat yang sebelumnya telah ditawarkan kepada langit, bumi dan gunung-gunung namun mereka semua enggan memikul amanah berat tersebut. Lalu manusia menerimanya. Maka Allah sebut manusia sebagai makhluk yang zalim lagi bodoh.

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ

أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا

”Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS Al-Ahzab ayat 72)

Allah menyebut manusia zalim dan amat bodoh karena saat manusia menerima amanah tersebut ia seolah mengabaikan rasa ”khawatir akan mengkhianatinya”. Padahal makhluk-makhluk besar lainnya yang ukurannya jauh lebih besar daripada manusia menolak memikulnya karena khawatir akan mengkhianatinya. Manusia terlalu percaya diri bahwa ia akan berlaku jujur dan amanah dalam memikulnya. Dan pada kenyataannya memang ternyata kebanyakan manusia di dalam memikul amanah yang Allah berikan kepadanya berlaku khianat.

Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhu,” Yang dimaksud dengan amanat ialah ketaatan.” Allah menawarkan ketaatan kepada langit, bumi dan gunung-gunung sebelum Dia menawarkannya kepada Adam. Namun ketiganya tidak sanggup. Lalu Allah berfirman kepada Adam, ”Sesungguhnya aku telah menwarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung. Semuanya tidak sanggup. Apakah kamu sanggup memegang teguh perkara yang ada di balik amanat tersebut?” Adam berkata, ”Ya Rabbku, apakah yang ada di baliknya?” Allah berfirman, ”Jika kamu berbuat baik maka mendapat imbalan dan jika berbuat buruk maka mendapat hukuman.” Kemudian Adam mengambilnya, lalu memikulnya. Maka Adam lalu terpedaya oleh perintah-perintah Allah. Sehingga belum berlalu waktu yang terlalu panjang Adam sudah mengkhianati amanat tersebut dengan melakukan dosa kemaksiatan atau kedurhakaan kepada Allah Sang Pemberi amanat.

Ketaatan yang Allah kehendaki dari manusia bukanlah ketaatan dalam urusan kehidupan pribadi semata. Namun ketaatan itu harus mencakup ketaatan dalam mengelola urusan kehidupan bermasyarakat dan bernegara dengan mengikuti sistem hidup buatan Allah (Dienullah). Bila manusia menata kehidupan pribadi dan sosialnya berdasarkan Allah-made way of life (Dienullah), maka mereka semua akan memperoleh imbalan yang baik dari Allah di dunia maupun di akhirat kelak nanti. Dan itu sekaligus mencerminkan terwujudnya masyarakat yang bersikap jujur dan amanah dalam memikul amanat yang datang dari Allah.

Namun dalam kenyataannya banyak masyarakat yang dalam menata kehidupan pribadi serta sosialnya lebih memilih untuk menjadikan man-made way of lives (dien buatan manusia) sebagai sistem hidupnya. Dengan demikian mereka bakal memperoleh hukuman Allah di dunia serta di akhirat, cepat ataupun lambat. Dan ini sekaligus mencerminkan terwujudnya masyarakat yang bersikap zalim lagi amat bodoh dalam memikul amanat yang telah diterimanya dari Allah. Masyarakat yang lebih suka menjadikan man-made way of lives (dien buatan manusia) sebagai sistem hidupnya dan dengan sengaja meninggalkan Allah-made way of life (dienullah), maka kezaliman akan tumbuh dengan subur di dalamnya. Dan masyarakat seperti itu layak disebut sebagai masyarakat Jahiliyah (masyarakat yang penuh kebodohan). Kebodohan yang dimaksud adalah al-jahlu ’anil-haq (kebodohan akan hakikat kebenaran).

Semenjak dibubarkannya sistem Islam yang disebut Khilafah Islamiyyah pada tahun 1924, maka dunia belum menyaksikan wujudnya masyarakat yang menjadikan dienullah semata sebagai sistem hidupnya. Segenap masyarakat dunia dewasa ini menata kehidupan bermasyarakat dan bernegaranya berdasarkan aneka sistem hidup buatan manusia. Tidak satupun yang menjadikan dienullah sebagai sistem hidupnya. Termasuk negeri-negeri yang mengaku dirinya sebagai negara Islam, maka pada hakikatnya mereka belum menjalankan sistem hidup dienullah. Sebab mereka masih ter-shibghoh (diwarnai) oleh faham qaumiyyah (Nasionalisme). Nasionalisme menganut sistem dimana sebuah negara dibangun berdasarkan kesamaan bangsa sebagai pengikat utama anggota masyarakatnya. Adapun sistem Islam menampung dan mengayomi segenap manusia dari aneka warna kulit, ras, suku dan bangsa. Berbagai negara yang ada dewasa ini sangat membatasi populasinya berdasarkan konsep kebangsaan. Ikatan utama dalam sebuah masyarakat dan negara Islam ialah aqidah Laa ilaaha illa Allah wa Muhammadur Rasulullah. Apapun warna kulit, suku maupun bangsa seseorang selagi ia ber-syahadatain, maka ia memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga sistem dienullah tersebut.

Sudah tiba masanya bagi ummat Islam untuk meninggalkan segenap dien buatan manusia dan menegakkan sistem hidup berlandaskan dienullah. Namun ada prasyarat fundamental yang perlu dipenuhi terlebih dahulu. Haruslah wujud sekumpulan ummat yang memiliki aqidah Islamiyyah secara kokoh dan meyakini sepenuhnya bahwa urusan sistem hidup merupakan urusan yang sangat penting. Bila ummat Islam masih menaruh harapan pada berbagai man-made way of lives, maka sistem Islam tidak akan pernah kunjung tegak. Hanya dan hanya jika ummat Islam telah benar-benar meyakini bahwa Islam-lah satu-satunya way of life yang pasti menghantarkan terwujudnya masyarakat penuh keadilan, maka sistem Islam akan tegak.

Alangkah ironis-nya bila setiap wirid pagi dan petang seorang muslim membaca:

رضيت بالله ربا و بالإسلام دينا و بمحمد نبا و رسولا

“Aku ridha Allah sebagai Rabb, dan Islam sebagai dien (sistem hidup) dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul.”

Ia membacanya setiap pagi dan petang, namun dalam realitanya ia menunjukkan sikap ridha terhadap berlakunya sistem hidup buatan manusia sebagai way of life. Ia tidak memiliki kegelisahan dan kecemburuan terhadap kenyataan bahwa manusia di sekitarnya masih rela hidup dengan dien-dien selain dienullah. Padahal inilah makna ucapan legendaris Rub’iy bin Amer:

إن الله ابتعثنا لنخرج العباد من جور الأديان إلى عدل الإسلام

”Sesungguhnya Allah mengutus kami (ummat Islam) untuk mengeluarkan hamba-hamba Allah (ummat manusia) dari kezaliman berbagai dien menuju keadilan Al-Islam.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar