Rabu, 03 Juni 2009

Kajian Fiqih: Mengkombinasikan Niat


Cetak E-mail
Ditulis oleh Dewan Asatidz

Banyak pertanyaan seputar menggabung ibadah, misalnya puasa membayar hutang (qadla) Ramadhan digabungkan dengan puasa Syawah enam hari. Sahkah ibadah seperti itu?
Para fuqoha membahas hal tersebut tersebut dalam masalah at-tasyriik fin niyyah (mengkombinasikan niyat). Imam Suyuthi dalam kitabnya yang sangat masyhur al-Ashbah wan Nadlair menyebutkan bahwa menggabung dua ibadah ada beberapa kriteria.

Kreiteria Pertama: meniatkan satu ibadah dengan disertai niat lain yang bukan ibadah dan tidak boleh dimasukkan dalam ibadah tersebut, seperti menyembelih hewan ditujukan untuk Allah dan lainnya, ini bisa menyebabkan haramnya sembelihan tadi, apalagi kalau ditujukan untuk tujuan syirik. Namun ada juga yang tidak membatalkan ibadah tadi, seperti berwudlu atau mandi namun dengan menertakan niat mendinginkan badan. Alasannya karena mendinginkan badan tadi meskipun tanpa niat juga tercapai dengan wudlu dan mandi, maka tidak mengurangi keikhlasan. Contoh lain masalah ini adalah puasa sunnah dengan tujuan pengobatan dan haji dengan tujuan berdagang. Ibnu Abdussalam mengatakan ibadah seperti itu tidak mendatangkan pahala, namun Imam Ghozali mengatakan dilihat dari mana niat yang lebih banyak, kalau yang lebih besar adalah niat karena Allah maka tetap dapat pahala.

Kriteria Kedua: meniatkan satu ibadah dengan ibadah lain. Ini ada beberapa bentuk, pertama: menggabung ibadah fardlu dengan fardlu lain. Ini tidak sah kecuali beberapa masalah, yaitu haji qiran, dimana didalamnya digabung ibadah umrah wajib dan haji wajib. Contoh lain adalah mandi sambil menyelam dengan niat wudlu juga. Adapun menggabung sholat dhuhur dan ashar dalam satu amalan hukumnya tidak sah.

Kedua: menggabung ibadah fardlu dengan sunnah, ini ada yang sah dan ada yang tidak sah. Contoh yang sah adalah: ketika masuk masjid dan jamaah telah dimulai, kemudian kita niat sholat fardlu dan tahiyyatul masjid juga. Menurut mazhab Syafii keduanya sah dan mendapatkan pahala. Begitu juga seseorang yang mandi junub hari jum'at, kemudian dia niat mandi wajib dan jum'at sekaligus. Adapun contoh yang jadi adalah sunnahnya, seperti seseorang memberi uang kepada fakir miskin dengan niat zakat dan sedekah, maka yang sah sedekahnya bukan zakatnya. Pendapat Hanafi yang sah zakatnya.

Ada juga contoh yang sah fardlunya, seperti orang haji berniat fardlu dan wajib, padahal dia belum pernah haji maka yang jadi wajibnya.
Ketiga: menggabung dua ibadah sunnah. Hukumnya menurut mayoritas ulama sah. Qaffal diriwayatkan mengatakan hukumnya tidak sah. Contohnya seseorang mandi untuk shoat ied dan jum'at sekaligas karena kebetulan harinya bersamaan, ini sah untuk keduanya. Contoh lain orang masuk masjid dan sebentar lagi iqamah, lalu ia menggabung sholat qabliyah dan tahiyyatul masjid, ini sah menurut semua madzhab.

Madzhab Hanafi mengatakan boleh menggabung dua niat dalam satu ibadah, apabila ibadah itu masuk ibadah perantara seperti mandi. Adapun dalam ibadah yang substansi maka menggabung dua fardlu tidak boleh, seperti sholat empat waktu dengan niat dhuhur dan ashar.

Manggabung Qadla Ramadhan dan Sunnah Syawal

Permasalahan menggabung dua niyat dalam ssatu ibadah juga berlaku bagi mereka yang ingin melakukan puasa qadla Ramadhan sambil melakukan sunnah Syawal. Apakah puasanya sah?

Ulama berbeda pendapat dalam masalah tersebut. Ada yang mengatakan jadi puasa qadla dan puasa syawalnya tidak sah. Ada yang mengatakan yang sah puasa sunnahnya dan hutangnya belum gugur. Bahkan ada yang mengatakan tidak sah keduanya dan amalnya sia-sia.


Namun demikian Imam Ramli salah seorang ulama besar madzhab Syafii berfatwa ketika ditanyai tentang seseroang yang qadla Ramadhan di bulan Syawal sambil niat puasa enam hari bulan Syawal apakah sah? Beliau menjawab, gugur baginya hutang puasa dan kalau dia berniat juga sunnah syawal maka baginya pahala puasa sunnah tersebut. Imam Ramli mengatakan bahwa itu pendapat beberapa ulama kontemporer.

Akhirnya, bagi yang mampu dan kuat, maka sebaiknya niat itu satu-satu. Artinya kalau mampu, maka puasa qadla dulu baru melakukan sunnah syawal. Atau kalau kurang mampu, maka puasa syawal dulu karena waktunya pendek hanya sebulan, lalu mengqadla Ramadhan di bulan lain karena waktunya fleksibel selama setahun hingga Ramadhan berikutnya. (Kalau terlambat terkena denda fidyah). Kalau merasa kurang mampu juga, maka baru bisa melirik pendapat imam Ramli tadi. Wallahu a'lam bissowab.

Disusun: Ustadz Muhammad Niam, LLM
Dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar